bab 25 (a)

1.2K 33 2
                                    


Sejak aku resmi menyandang status baru, pria ini selalu mejadi bayangan. Dia terasa begitu dekat, tetapi tak tersentuh.

Dengan alasan mengembangkan sayap bisnisnya, dia pun pergi jauh mendiami salah satu kota di Negeri Jiran dua tahun dan selama itu pula kami tak bersua. Kendati demikian, kami tetap saling mengabari sesekali melalui sambungan telepon.

Ucapan terakhir pria ini di telepon waktu itu, bersama dengan buket mawar dan cincin yang dia beri, rupanya salam perpisahan sementara untukku.

Justru saat berangkat ke negara yang baru ditinggalinya, tidak ada kabar sama sekali dan aku merasa sangat kehilangan.

“Kenapa nggak ngasih kabar dan pamit dulu sama aku, Mas?” tanyaku saat dia sudah mendarat di negeri tetangga.

Aku sedikit kecewa karena tiba-tiba saja dia bilang sudah ada di Penang dan akan menetap di sana entah sampai berapa lama.

“Aku nggak mau melihatmu menangis,” jawabnya. “Ingat, rembulan nggak benar-benar sendiri. Ada jutaan mata yang selalu menanti cahayanya. Begitu pun kamu, jangan  pernah  merasa sepi.”

Aku tak menyahut, menunggu dia kembali bicara.

“Kamu boleh menghubungiku sesering mungkin, bahkan setiap menit, kalau kaumau. Tapi aku nggak mungkin mengganggumu setiap saat, walaupun sebenarnya aku ingin. Jujur, aku harap kamu bahagia dengan caramu, menghirup kebebasan sesuka hatimu.” Begitu kata dia, saat minggu-minggu pertama berada di tempat tinggalnya yang baru.

Bisa dihitung dengan jari, berapa banyak pesan yang kukirim padanya selama dua tahun kami tak bersua. Bukan tak mau peduli, tetapi aku memang sedang tidak ingin memiliki hubungan apa-apa dengan pria mana pun.

Untuk detik ini, dia kembali memberi kejutan dengan hadir kembali tepat di depan mataku.

Termangu, kutatap lurus pria tinggi bermata sipit yang baru saja keluar dari mobilnya. Dia berdiri tegap, memandangku dengan senyum mengembang sama seperti dulu.

“Hai, apa kabar, ng ....” Bola matanya menelisikku dari atas hingga bawah, “Bu Guru?”

Aku membalas senyumnya dengan hal serupa.

Dia pun menghampiriku.

Kami canggung, layaknya dua insan yang baru  dipertemukan kembali setelah puluhan purnama. Sangat canggung, bahkan untuk bersalaman pun salah tingkah.

“Apa kabarmu, Nona?” tanyanya kemudian.

Sapaan yang sama sejak dulu itu membuatku terkekeh, tapi tak pernah lagi terlontar protes dari bibirku ketika mendengar panggilan manis itu.

“Baik,” jawabku singkat. “Mas, apa kabar?”

Dia melirik dengan mengangkat sebelah alis. “Akan sangat baik, kalau kamu mau menemaniku jalan-jalan.”

Aku menyipit.

“Mau, nggak?”

“Ke mana?”

“Ke mana saja. Ke bulan pun, boleh.” Dia terkikik, begitu pun aku.

Selanjutnya, anggukan kepala adalah jawaban final dariku.

Tak butuh waktu lama untuk kami beradaptasi lagi, karena suasana pun mencair sama seperti dulu.

***

Aku dan Mas Julian berjalan beriringan, menyusuri perkebunan teh menuju satu tempat, setelah berkendara sepuluh menit.

“Kita mau ke mana?” Mas Julian bertanya di tengah langkahnya yang terseok, dan sesekali terantuk tanah.

Payah! Aku yang memakai rok sepan—seragam guru—sepanjang mata kaki pun, bisa dengan lincah mendahuluinya.

“Kamu capek, Mas? Masa, sih, kalah sama perempuan?” sindirku sontak membuatnya cemberut.

“Siapa bilang? Aku nggak capek, kok!” Dia berdecak.

Saat menoleh ke arahnya, aku terkikik. Bibir Mas Julian maju, dia bersungut-sungut seperti bocah sedang merajuk.

“Nah ... sampai!” Aku menghentikan langkah, begitu pun Mas Julian.

Wajah maskulin yang semula tampak jemu, kini berganti dengan binar takjub.

“Wooow!” Bibir Mas Julian membulat, matanya terbuka lebar. Dia berseru sembari membuka lebar tangan dan tubuh berputar.

Aku membawa Mas Julian ke sebuah titik paling menarik di perkebunan teh, jaraknya setengah jam dari rumahku jika berjalan kaki secara penuh. Ini adalah puncak, di mana segala sesuatu di sekitarnya bisa tertangkap dengan mata.

Dari kejauhan, jalan setapak yang tadi kami lewati, tampak seperti labirin, berliku-liku rumit. 

Sementara pepohonan teh terlihat berundak-undak, mengingatkanku pada bukit “Teletubbies”—film kartun favoritku sewaktu kecil.

Ada juga satu bukit dengan hamparan rumput hijau yang jadi pusat perhatian banyak orang, termasuk kami. Beberapa orang bermain paralayang di sana. Terjun dan mendarat dengan parasut yang mengembang gagah, bak sayap burung raksasa. Mas Julian bahkan mengajakku mencoba olahraga ekstrem itu, tetapi aku menolak karena takut.

Masih dengan sorot kagum yang belum pudar, pria ini menatapku lekat dan berkata, “Selera yang luar biasa untuk wanita sederhana sepertimu, Nona.”

***

Tak banyak yang Mas Julian dan aku lakukan di sini. Kami hanya duduk di rerumputan dan menikmati pemandangan yang memanjakan mata.

Satu jam berada di sini, kami berbincang banyak hal. Tentang keseharianku, pekerjaannya yang baru, dan perihal basa-basi lain. Hingga akhirnya, Mas Julian mulai menanyakan satu hal serius.

“Kamu masih sendiri, kan?”

Aku menoleh tapi tak segera menyahut.

“Ya ... kamu tau, kan, maksudku, Aruna?”

Diam sejenak. Benar, jika yang dimaksud itu adalah status, maka aku memang masih sendiri hingga detik ini.

Maka, aku menjawab pertanyaan itu dengan anggukan.

“Kamu masih menyimpan cincin dariku?”

Kulirik pria yang memakai kaus tangan panjang warna biru langit di sampingku ini. Tatapannya tegas, tak terselip senyum sedikit pun.

Kembali kuarahkan pandangan pada hamparan perkebunan teh, barulah aku mengangguk.

“Masih,” jawabku singkat.

“Jadi, apa jawabanmu?”

Jeda.  Diriku dan alam sekitar seolah berkompromi menciptakan keheningan syahdu. Mungkinkah semesta tahu apa yang benakku rasa?

Aku merenung, memikirkan apa yang akan dijawab selanjutnya. Tentu, aku tahu persis pertanyaan pria di sampingku ini mengarah ke mana.

Dua tahun dalam kesendirian membuatku sadar satu hal, bahwa aku memang membutuhkan seseorang. Jujur, aku cukup bahagia dan bisa menjalani segala sesuatu dengan mandiri. Namun, ada kalanya diri ini butuh sandaran, terutama ketika penat dan letih hati mendera, tak ada yang bisa kujadikan alas gundah dan penopang pilu. Sepertinya aku butuh pendamping hidup.

Baik, sepertinya aku harus segera memberinya kepastian.

❤️❤️❤️

Aruna Mencari Cinta (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang