Bab 6

941 21 2
                                    



"Aku mau pulang," pintaku pada Mas Ibas, ketika mobil baru saja melaju sekitar lima belas menit.

Tadinya, kami saling diam. Tak ada yang mengeluarkan suara. Sampai akhirnya aku berpikir, lebih baik kembali ke tempat yang benar-benar bisa menerima keberadaanku. Walau artinya ... hidup seorang sendiri. 

"Kita emang mau pulang, 'kan?" jawabnya tanpa menoleh.

"Maksudku ... ke desaku, bukan kembali ke rumahmu, Mas."

Ciiit!

Mobil berhenti mendadak. Bahkan hampir saja aku terantuk dasbor.

"Pulang? Ke rumahmu?" Mas Ibas melepas kacamata gelapnya, lalu menatapku tajam.

Aku mengangguk mantap.

Tiiin! Tiiin!

Lengkingan klakson kendaraan lain terdengar nyaring dari arah belakang. Mungkin terganggu karena kami berhenti di tengah jalan.

Mas Ibas menepikan mobil.

"Pulang untuk apa? Ada barangmu yang ketinggalan?"

"Nggak ada."

"Terus mau apa?"

Dia menggeser posisi duduknya. Menghadap ke arahku. Ekspresinya penuh keheranan. 

"Bukankah seharusnya gitu, Mas?" Aku balik bertanya. Berharap dia mengerti tanpa harus kujelaskan.

Dia tak menjawab. Malah semakin mengerutkan alis.

"Kalau Mas keberatan mengantarku pulang, nggak masalah. Aku bisa sendiri."

"Aruna!"

Dia meraih tanganku yang hendak melepas sabuk pengaman. Mencengkeram kuat.

"Aku masih suamimu," geramnya.

Aku tersenyum miris. "Suami? Kenapa baru kali ini kamu mengingat tentang statusmu sebagai suami, Mas? Bukankan sudah terlambat?"

Pria yang mengenakan kaus ketat hitam tangan panjang ini mendekat.

Semakin mendekat.

Hingga aku terdesak ke pintu mobil.

Deru napasnya menerpa wajahku. Begitupun sebaliknya.

"Apa kamu butuh pembuktian untuk status kita sebagai suami istri, hm? Sekarang?" Dia mengangkat sebelah alis, lalu kembali berkata, "Menafkahi lahir 'kan sudah kulakukan sejak awal. Kalau soal nafkah batin ...."

Aku mengerjap cepat. Jantung berdegup kencang. Tanpa dia teruskan pun, aku tahu maksud perkataannya itu.

Akan tetapi, kenapa dia menyinggung hal sensitif sementara kondisi rumah tangga kami sehambar ini? Ambigu sekali.

"Nanti," bisiknya di telingaku. "Di rumah."

Bulu roma meremang. Aku menggigit bibir.

"Dengar, Aruna. Aku suamimu dan kamu istriku, karena sampai detik ini kita masih terikat pernikahan. Jadi kamu nggak bisa pergi seenaknya dari rumah, tanpa seijinku," tegasnya.

"T-tapi kita--"

"Kupikir setiap orang tua pasti mendidik dan mengingatkan putrinya tentang itu. Benar, bukan?"

Bungkam. Aku diam tak berkutik saat dia menyinggung hal itu. 

Bagaimana bisa kubantah? Sementara orang tuaku--terutama Ayah--memang sudah sering menasehati tentang adab berumah tangga, bahkan sejak aku masih remaja.

Aku memalingkan wajah. Tak mampu lagi membalas tatapannya sedekat ini.

"Kita teruskan di rumah," ucapnya lagi.

Dia melepaskanku. Kembali memegang kendali setir.

Aku meringis. Menyentuh pergelangan tangan yang memerah karena cengkeramannya. Sementara dada tak hentinya berdetak nyaring. 

"Aruna," ucapnya lagi.

Aku menoleh.

"Sakit?" Dia melirik tanganku.

Aku menggeleng lemah. Lalu kembali memalingkan wajah. Menatap jalanan.

Sakit? Tidak.

Namun, apa yang ada dalam rongga dada ini berkali lipat lebih hancur.

Sesuatu yang seharusnya terisi, justru kosong. Hampa.

Mengkhayalkan pernikahan indah yang berisi romansa, tetapi yang kudapat hanyala derita.

Seperti saat menikmati keindahan setangkai mawar. Terpesona oleh rupa dan aromanya. Namun tak sadar, menggenggam durinya terlalu kuat. Hingga terluka, tapi tak tahu caranya untuk terlepas.

***

Keadaan memaksaku kembali ke tempat ini. Tempat, di mana aku memulai hidup baru yang penuh liku. Aku kalah.

Matahari hampir kembali ke peraduannya, ketika kami sampai. Tak ada yang berubah. Hanya debu yang bertambah, karena selama seminggu rumah ini tak disentuh

Pintu terbuka. Kumasuki bangunan mewah yang hanya berisi kesunyian ini dengan langkah yang begitu berat. Seolah ada bola besi yang mengikat kaki.

Mas Ibas membawa tas besarku ke kamarnya. Aku tak berani protes. Sia-sia. Lagipula, letih raga terlalu mendera.

Aku membereskan baju-bajuku dengan enggan. Menjejalkannya satu persatu ke dalam lemari.

Setelahnya, mengecek beberapa notifikasi di ponsel.

Kubalas pesan Whatsapp dari Mama dan Papa yang menanyakan apakah aku telah sampai.

Ada satu pesan lagi, dari nomor tak dikenal.

Siapa? Foto profilnya hanya sebuah pemandangan mentari senja. Mana bisa kukenali.

Tak urung, kubaca pesan itu.

"Apa kabar? Maaf mengganggu. Kapan balik lagi ke kampung, wahai kembang desa? Ada salam, dari seorang sahabat yang rindu tawamu."

Mas Fahmi?

Ah, lama sekali tak saling sapa dari jauh.

Sebulan sebelum aku menikah, kami sudah tidak saling menghubungi. Bukan apa-apa. Dia sangat sibuk--kumaklumi--dan nomor teleponnya pun diganti. Begitu ungkapnya.

Namun, aku yakin, sebenarnya dia menghindar begitu tahu aku memilih perjodohan yang diwasiatkan Ayah. Mungkin dia kecewa, aku lebih memilih pria lain dibanding dirinya.

Kali ini dia kembali menyapaku. Dan ada sesuatu yang menghangat. Di sini. Dalam sebongkah hati yang membeku.

"Kamu nggak sendiri, Aruna. Akan ada seseorang yang selalu hadir untukmu. Menemanimu, menghiburmu, dan sangat membutuhkanmu. Yaitu aku," ucapnya saat itu, sehari setelah Ayah meninggal.

Aku hancur. Ayah pergi, menyisakan pesan terakhir yang membuatku gamang.

Baskara. Dia menyebut nama itu sebelum meninggal. Memintaku menikah dengan pria yang tak kukenali.

Kenapa? Kenapa titahmu sebegitu berat, Ayah?

Sementara di satu sisi, seorang pria yang penuh ketulusan dan telah lama mengisi suka dukaku, membuka tangannya lebar-lebar. Seolah dia hendak menjadi tameng saat segala lara menerpaku.

Namun, aku tak sanggup menerima uluran tangannya. Orang tua Mas Fahmi tak sepenuhnya merestui kami. Entah sebabnya apa.

Kini, aku merasa terjebak dalam pilihan yang keliru. Hidup dalam ketidakpastian. Hidup bersama seorang Baskara.

Segera kuketik balasan. Kebetulan dia sedang online. Setidaknya, kami masih sahabat, bukan?

Hanya sahabat.

"Aku baik. Mas Fahmi apa kabar?"

Tak menunggu lama, kudapati balasan darinya.

"Tadinya sih suram. Tapi sekarang udah baik. Lega, karena seseorang yang membaca pesanku pasti sedang tersenyum."

Aku Menggeleng-gelengkan kepala dan ... ya, aku tersenyum. Dia selalu bisa menghiburku. Padahal, hanya dengan kalimat singkat.

Terima kasih, Mas.

"Betul nggak?" 

"Betul apanya, Mas?"

"Kamu lagi senyum, 'kan?"

"Kok tau? Waaah, Mas berbakat jadi dukun nih. Hehe."

"Dukun? Nggak apa. Kalau itu bisa bikin hati seseorang kembali sama aku sih ... aku rela."

Aku diam. Kenapa candaannya selalu seperti ini? Selalu tertuju padaku.

Ah, ini tidak baik. Aku tidak boleh ikut terpancing. Walau tahu dia begitu baik lebih dari siapa pun, tapi statusku adalah istri orang.

"Belum dimakan?"

Aku terlonjak kaget ketika akan kembali membalas pesan itu.

Mas Ibas tiba-tiba muncul. Dia seperti keheranan melihatku gugup.

"A-ada apa, Mas?" tanyaku tergagap.

Dia mendengkus pelan. Mengedikkan dagu ke arah nakas. "Itu, kenapa belum dimakan?"

Aku melirik arah pandangannya. Oh, makananku.

Setengah jam lalu, Mas Ibas memesan nasi goreng seafood untuk makan malam. Mungkin sekarang sudah dingin. Aku sama sekali tak berselera.

"Ng ... nanti aja. Aku belum lapar," tolakku. Kemudian mematikan ponsel dan menyimpannya di kasur.

"Kamu ... kenapa?" Mas Ibas melangkah. Menyipit. Memperhatikanku intens.

Dia membuka kaus panjang hitamnya di hadapanku dan bertelanjang dada.

Mengingat perkataan Mas Ibas tadi di mobil, aku jadi bergidik.

Tidak. Tidak saat ini. Jangan!

Jantungku berdebar.

"Ng-nggak apa-apa kok, Mas," jawabku sambil terus berdiri merapikan baju. Lalu membelakangi, demi menghindari tatapannya.

Sepertinya dia terus mendekat. Bahkan detik ini, persis di belakangku. Kupejamkan mata rapat-rapat saat tangannya terulur melewati pinggangku.

Jantung seolah minta keluar paksa.

Namun ....

"Makanlah, lalu istirahat. Jangan sampai sakit. Aku nggak bisa ngurus kamu sendirian."

Lalu dia masuk ke kamar mandi. Setelah mengambil sebuah handuk bersih di lemari.

Ah, akhirnya aku bisa bernapas.

Tidak tahukah dia? Perlakuannya yang janggal membuatku penuh tanya. Apa setiap lelaki memang seaneh itu?

***

Makan hanya habis setengah. Aku terlalu lelah, bahkan untuk menelan hidangan yang sudah dingin tapi tetap enak.

Setelah mandi, Mas Ibas langsung berkutat di ruang kerjanya. Aku yakin, setelahnya dia akan tidur di sana.

Ruang kerja yang sebetulnya merangkap kamar pribadi, karena ada sebuah kasur ukuran single.

Hanya saja, dia tak pernah bilang bahwa dirinya memang tak pernah mau menemaniku tidur di kamar ini. Tak apa. Toh, sekarang aku tahu alasan dia. Bahkan, memang lebih  baik begini.

Kami pisah ranjang.

Aku sangat lelah. Mengantuk. Hendak berganti pakaian, tapi begitu kesusahan saat membuka resleting belakang dres.

Ah, kenapa macet begini? Biasanya tidak.

"Sini, aku bantu."

Lagi. Aku terlonjak kaget dengan kemunculan Mas Ibas yang tiba-tiba.

Apa pria ini mengendap-ngendap hingga langkahnya tak terdengar? Atau aku yang memang sedang melamun sampai tak sadar dia masuk ke kamar.

Ya ampun! Aku lupa menutup pintu. Pantas saja.

Dia berdiri tepat di belakangku. Kurasakan hangat embusan napasnya di leherku.

Aku memalingkan wajah dengan dada naik turun. Sementara dia mengambil alih apa yang hendak kulakukan.

Melepas pakaianku.

Sreeet.

Resleting terbuka sampai pinggang. Sontak, aku meraih blazer di pinggir ranjang dengan sigap dan melingkarkannya di bahu.

Aku berbalik. Kami berhadapan.

"Lho, bukannya kamu mau ganti baju?" Dia mengangkat sebelah alis.

Mendekat ke arahku. 

Aku mundur selangkah. Sambil berusaha menutupi dada yang bergemuruh ini.

"N-nanti aja. A-aku bisa sendiri, Mas."

"Nanti? Kenapa? Emangnya kenapa kalau ada aku di sini? Bukankah kita suami istri?" cercanya sambil menyeringai.

Tak nyaman dengan perlakuan dan ekspresi pongahnya, aku terus mundur. Sementara dia terus saja mendekat.

Benar, Mas Ibas memang suamiku. Namun, semua ini terasa aneh. Kenapa aku begitu takut?

"Tolong pergi," pintaku yang hanya terdengar mencicit, saat Mas Ibas sudah mengurungku.

Aku bergeming. Dia memerangkap tubuhku dengan kedua tangan kokohnya menempel di dinding.

Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya, dan aku tak tahu harus berbuat apa.

"Aku sedang bicara denganmu, Aruna. Lihat aku," titahnya.

Kemudian, dengan mengumpulkan segenap keberanian, kubalas tatapannya.

Mata elang itu menyiratkan sesuatu. Sesuatu yang tak bisa kumengerti tapi ... membuatku bergidik.

Apa ini saatnya aku harus menyerahkan diriku pada suamiku? Apa dia benar-benar sudah berubah? Tapi kenapa hal yang seharusnya manis ini malah terasa aneh bahkan membuatku tak nyaman?

Dia kembali menyipit dan menyeringai.

"Kenapa kamu gugup? Sudah sebulan lebih kita menikah, 'kan? Apa salahnya kalau sekarang kita melakukan satu hal yang seharusnya, hm?" 

"A-aku ...."

"Kenapa, Aruna?"

"Aku ... a-aku ...." Kuembuskan napas panjang.

"Nggak sekarang, Mas. Aku belum siap," ungkapku kemudian, penuh kepastian.

"Belum siap? Kenapa? Bagaimana kalau aku memaksamu?"

"Mas!" Aku melebarkan mata ke arahnya.

"Kamu nggak suka dipaksa, 'kan?" Dia terkekeh. "Aku juga tidak. Jadi dengarkan aku."

Aku bebas dari kurungannya. Bisa sedikit bernapas walau tersendat.

Dia mundur selangkah. Bibirnya menipis, dan semakin menatapku tajam.

"Aku nggak akan memaksamu melayaniku, Aruna. Tapi aku ini pria normal. Siapa yang bisa menjamin aku sanggup menahan diri kalau terus di dekatmu, hm?"

Aku meringis dengan rasa ngilu di dada.

"Tapi aku sudah bilang tadi pagi, kalau aku ingin pulang 'kan, Mas," belaku. "Aku juga sempat akan bicara soal perceraian kita!" 

"Pulang? Cerai? Semudah itu, hm?" celanya. "Papa dan Mama membangga-banggakanmu, Aruna! Bahkan lebih membelamu daripada anak kandung mereka sendiri! Tapi kamu mau pergi sementara kamu tahu sendiri kondisi Papa seperti apa, hah?!"

Air mata mulai menggenang di pelupuk.

Benar. Aku salah besar seandainya mengatakan niat perpisahan itu sekarang. Kondisi Papa sangat rentan. 

"Kamu egois, Aruna!"

"Cukup, Mas! Apa maumu?!"

"Kita buat kesepakatan," tegasnya. 

"K-kesepakatan apa?"

"Kita tetap tinggal di sini, dalam satu atap. Tapi tanpa ikut campur dalam privasi masing-masing."

"Aku nggak ngerti, Mas." Kugelengkan kepala.

"Kamu cantik. Siapa pun pasti mengakui itu. Tapi aku nggak menyukaimu, karena aku nggak mengenalmu," ucapnya. "Dan aku nggak pernah suka dipaksa, sama seperti perjodohan kita. Jadi, aku memintamu jangan mengusik privasiku. Sebaliknya, aku memberimu kebebasan. Nanti, kalau sudah saatnya, aku akan menceraikanmu. Dan itu pasti."

Bak air bah yang meluluhlantakkan daratan. Hancur. Aku hancur.

Semudah itu Mas Ibas menawarkan kesepakatan tentang suatu hal yang sakral. Bahkan, seperti tak ada beban di dalam perkataannya.

Aku merasa benar-benar direndahkan.

Kadang, dalam rasa sakit yang teramat, hanya tangis yang mampu meleburnya.

Namun, tidak untuk kali ini. Aku menolak menjadi wanita lemah di hadapan pria tak berhati ini.

Aku mengusap keras air yang membasahi pipiku. Lalu menghunjamkan tatapan ke arahnya.

Dengan suara bergetar, aku mulai berucap, "Mas, aku nggak akan menyalahkanmu karena membenciku. Anggap saja kita sama-sama korban dalam situasi yang tidak menguntungkan. Tapi ingat, Mas," desisku lalu kembali berkata, "lepaskan aku jika sudah saatnya nanti. Dan jangan menahanku saat aku tak ingin lagi menoleh."

"Satu hal lagi. Jangan sampai apa yang kamu ucapkan jadi bumerang bagi dirimu sendiri, Mas. Karena Tuhan berkuasa membolak-balikkan hati manusia. Tak terkecuali kita," peringatku untuk terakhir kali.

Aku tak memperhatikan reaksinya, karena sejurus kemudian, aku langsung meninggalkannya dengan langkah cepat. Berlari menaiki anak tangga. Mengurung diri di kamar lain.

Aku bersimpuh di lantai. Meluapkan tangis yang tak sanggup lagi kubendung.

Kuat itu adalah ketika kita bisa menyembunyikan hati yang berkeping, bahkan jika hancur sekalipun.

Satu yang tersisa, yakni keyakinanku pada-Nya. Bahwa ini semua adalah skenario yang Tuhan rancang sedemikian rupa, dengan berbagai liku dan deru, tetapi akan bermuara pada satu titik.

Dan aku harap, muara itu akan seindah yang kuimpikan.

Lantas, adakah pengobat luka dari sekeping hati yang retak ini?

Aruna Mencari Cinta (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang