Bab 5

969 25 1
                                    

Bip. Bip.

Suara alat pendeteksi denyut jantung terasa menusuk. Ritmenya membawa ingatanku melayang pada kejadian silam, ketika melepas kepergian Ayah untuk selamanya.

Aku bergidik. Begitu takut akan rasa sakit kehilangan. Bahkan hingga detik ini masih menggores.

Akan tetapi, kali ini Sang Maha Pengasih begitu bermurah hati dan mengabulkan doa kami. Walau masih lemah, Papa telah bebas dari masa kritis.

Aku berdiri di samping ranjang. Menatapnya lekat. Terpatri jelas garis-garis wajah, pertanda usia yang menua. Pria lima puluh tujuh tahun di hadapanku ini terpejam dengan tenang.

Beberapa kabel yang terhubung ke alat medis menempel di tubuh. Selang oksigen dan infus juga tak lepas darinya.

Siapa pun pasti merasa pedih, menyaksikan seseorang yang disayangi kini tergolek lemah tak berdaya. Namun, segera kuhapus air mata, begitu Papa sadar keberadaanku.

Perlahan, matanya terbuka. Kuraih tangan Papa, memberi kehangatan khas seorang anak. Ia tersenyum. Rasanya sama, persis seperti saat kugenggam tangan Ayah.

"Tolong jaga psikis pasien. Jangan sampai terusik sedikit pun, karena itu bisa membuatnya kembali drop."

Terngiang pesan dokter tadi, sebelum aku masuk ke ruang berdominasi putih ini.

Niatku untuk membahas perpisahan dengan Mas Ibas, sepertinya harus tertunda. Setidaknya, sampai kondisi Papa membaik.

Papa tak hentinya menatapku. Berkali-kali mendesah lemah. Seperti banyak kata yang ingin dia utarakan, tapi tak mampu untuk diucap.

Sesaat, kami diam. Aku terus mengulas senyum sebagai penenang, walau apa yang ada di hati sangatlah berlawanan. 

"Aruna ...." Suara lemah nan lirih itu terdengar, bersamaan dengan segaris air dari sudut matanya.

Berdesir nuraniku. Begitu besar rasa kasih yang terpancar darinya. Padahal, aku hanya seorang menantu yang sama sekali tak bisa dibanggakan. Bahkan, akan kembali menjadi orang asing.

"Aruna di sini. Papa harus sembuh, ya," ucapku lembut. Mengusap sudut matanya. 

Bibir pucatnya bergetar. Air matanya semakin menganak sungai. Namun, kulihat ada rona bahagia. Tangan lemahnya terangkat. Menyentuh pipiku.

Papa tersenyum dalam tangis.

***

Ada yang berbeda. Mas Ibas berubah lembut. Bukan padaku, melainkan pada Papa. 

Kadang, Mas Ibas menyuapi Papa dengan telaten. Kadang, membujuknya menelan pil-pil obat. Begitu juga saat pemeriksaan dokter, selalu siaga menemani Papa.

Bukan sandiwara semata. Kusaksikan jelas bakti seorang putra untuk ayahandanya.

Ah, tentu. Papa adalah ayah kandungnya. Memang seharusnya seperti itu. Sementara aku? Aku hanya orang asing yang tanpa permisi merangsek masuk di hidupnya.

Walau tetap tak banyak bicara terhadapku, setidaknya, Mas Ibas tak lagi ketus. Apa lagi tujuannya, kalau bukan demi Papa.

***

Papa kembali menginjakkan kaki di kediamannya, setelah seminggu lebih dirawat intensif di rumah sakit.

Bangunan bernuansa krem ini begitu asri. Walau didesain minimalis dengan tiga lantai, tapi halamannya begitu menyejukkan mata.

Beberapa pohon palem menjulang di sudut-sudut pagar. Ada taman dengan aneka bunga, juga sebuah gazebo mungil di pinggir kolam ikan hias.

Cantik sekali.

Aruna Mencari Cinta (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang