bab 25 (b)

1.3K 47 5
                                    

Sebelum baca, please kasih tanda ⭐ buat Aruna and follow aku, ya!
Biar aku dan kamu jadi kita. 😌 Eh.

oh, satu lagi. ☝️
Please, jawab pertanyaan sederhana dariku, ya! 😋

Apa alasan kalian ngikutin cerita Aruna dari awal sampe bab ini?
.
.
.

***

Lama termenung, aku sadar bahwa aku memang butuh pendamping hidup. Baik. Sepertinya aku harus memberi kepastian pada Mas Julian.

“Beri aku waktu, Mas,” cetusku setelah lama terdiam. “Aku akan memikirkannya lagi.” Ku akhiri perbincangan serius kami dengan kalimat itu.

Jika melupakan seseorang saja membutuhkan waktu yang tidak singkat, maka menerima hubungan baru pun demikian, bukan?

Mas Julian masih menatapku lekat. Sorot yang teduh dan kadang jenaka tapi selalu memberi ketenangan, detik ini makin berbinar. Iris matanya berkilat seolah ada benih-benih harapan baru muncul. Dia pun tersenyum lebar, hingga mata sipitnya hanya membentuk sebuah garis.

***

Saat pulang, Mas Julian mengajakku makan malam di luar, tetapi aku menolak. Mana mungkin aku keluyuran malam dengan mengenakan seragam tenaga pendidik? Rasanya tidak etis.

Jadilah dua bungkus nasi goreng spesial langgananku, kami bawa ke rumah.

Matahari sudah tergelincir ke ufuk barat, ketika mobil Mas Julian sampai di halaman rumahku.

Saat kami keluar, seorang anak perempuan tergopoh-gopoh menghampiri. Kiki, si anak tetangga sebelah rumahku.

“Bu Guluuu!” seru Kiki dengan logat cadel menggemaskan.

Kiki meraih tanganku, dan aku bersimpuh di hadapannya. Sedangkan Mas Julian jongkok di sebelahku.

“Lho, Kiki ngapain di sini? Udah gelap, harusnya Kiki pulang.” Kubelai rambut ikalnya. Memang, aku sangat menyukai anak kecil, terutama bocah tembam ini.

“Tapi Kiki cuma mau bilang sesuatu sama Bu Gulu,” bela anak itu.

“Oh, ya? Kiki mau bilang apa, Sayang?” Aku mengangkat kedua alis dan menopang dagu dengan tangan. Mas Julian terkekeh, mungkin menertawakan tingkahku.

“Tadi ada yang nyali Bu Gulu.”

“Oh, ya? Siapa?”

“Om ganteng,” celetuk Kiki, seraya menunjuk Mas Julian. “Kayak Om ini.”

Aku dan Mas Julian saling lirik sekilas.

“Siapa namanya?” Kali ini, Mas Julian ikut bicara.

Kiki menggeleng.

“Om itu bilang namanya?”

Kiki menggeleng lagi. “Om itu tinggi, sama kaya Om sipit ini,” katanya. “Udah, ah, Bu Gulu. Kiki mau pulang. Daaah ....”

Si bocah perempuan itu berlalu dengan riang, tetapi meninggalkan sebaris tanda tanya. Bahkan, Mas Julian menjadi berubah sikap. Keceriaannya lenyap.

***

Mood kami memburuk setelah bertemu si kecil Kiki. Aku, dengan segala kegelisahan, sedangkan Mas Julian tampak muram.

“Kenapa makannya nggak dihabiskan? Tadi katanya lapar.”

Aruna Mencari Cinta (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang