Bab 9

1K 23 0
                                    

☘️☘️☘️

"Namaku Julian! Senang bertemu denganmu, Aruna!"

Seruan itu terus menggema di kepala. Terasa ada yang janggal. Dari mana dia tahu namaku? Padahal, aku sama sekali tak mengenalnya.

Tunggu. Jangan-jangan ....

Dengan sigap, kubuka dompet milikku yang barusan diserahkan oleh pria itu. Lembaran uang dan kartu ATM masih utuh, tapi ... KTP-ku mana?

Mataku menyipit, membaca sobekan kertas yang justru terselip dan bertuliskan:
"Ups. Cari sesuatu, ya?"

Aku berdecak kesal, segera mengambil ponsel lalu menghubungi nomor telepon yang juga tertera di kertas itu.

Hanya butuh tiga detik, panggilanku langsung dijawab.

"Halo?"

"Ya, halo. Siapa ini?"

"Ini aku."

"Aku? Aku siapa maksudnya?"

"Ehm! Aku Aruna, yang tadi--"

"Oooh, kukira siapa. Hehe. Ada perlu apa, ya, ng ... Mbak berlesung pipit?"

Mbak berlesung pipit? Ada perlu apa, katanya?

Menyebalkan. Aku mendesah pelan.

"Dengar, ya, Mas. Jangan pura-pura nggak tau. Mengambil barang tanpa ijin si pemilik, itu perbuatan nggak baik!" bentakku.

"Ya ampun ... jangan galak-galak, dong, Mbak. Aku bisa pingsan, nih, kalau diteriakin terus. Ck, sss ...." Dia meringis.

"Kalau gitu, tolong kembalikan barangku." 

"Barang? Barang yang mana, ya?" Terdengar kekehannya.

"Ya ... barang milikku." 

"Barang apa?" Dia terkikik lagi.

"KTP! Cepat kemba--"

"Oke, oke. Gini, ya, Mbak Aruna," potongnya. "Sekarang, kan, udah malam. Aku juga capek. Besok pagi kuhubungi lagi, ya, di mana dan jam berapa kita bakal ketemu."

"Apa?!"

"Besok aja. Ok?"

"Hei, tapi--"

"See you tomorrow."

"Kamu ...."

Tuuut.

"Halo?! Halo?!"

Telepon diputus sepihak. Aku membisu, menatap layar ponsel yang menggelap.

Orang aneh. Mencuri kartu identitas, lalu seenaknya meminta bertemu. Ini, sih, namanya pemaksaan. Tapi percuma saja kalau kutolak, bukan?

***

Mata mulai lelah mencari-cari informasi lowongan pekerjaan di internet dan juga media cetak. Setelah berpikir panjang, aku mantap memutuskan untuk bekerja. Selain mengisi waktu dan ingin punya penghasilan sendiri, aku juga memerlukan cara mengenyahkan runyam dalam pikiran.

Ya. Setidaknya, pikiranku tidak akan terus-terusan terpaku di sini. Terpaku pada masalah rumah tangga.

Lama, aku merenung. Mencoba mengusir bayangan kejadian di kafe tadi. Bayangan wanita cantik nan belia yang bersama Mas Ibas.

Nihil. Hingga jam menunjuk pukul 10 malam, aku masih belum bisa tidur karenanya. Gelisah.

Memang, yang kusaksikan bukanlah adegan tak senonoh, tapi melihat Mas Ibas bersama gadis lain dan keduanya tertawa lepas begitu akrab, membuatku merasa sakit hati.

Aruna Mencari Cinta (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang