Bab 14

1.1K 25 4
                                    


Obrolan singkat yang hanya dipenuhi candaan dan hal-hal ringan ini, menyisakan seulas senyum di bibir. Aku mengakhiri perbincangan dengan Mas Julian di telepon. Dia, pria berperangai riang yang kukenal secara tak sengaja, selalu bisa membuatku terhibur. Sejenak dapat menghapus pilu.

Aku mematikan laptop yang baru dibeli tadi sore, dan menyimpannya di nakas. Sudah lama ingin memiliki benda ini lagi, karena yang sebelumnya telah lama rusak. Aku tak ingin memintanya dari Mas Ibas walaupun dia berkali-kali menawarkan. Walhasil, kalung emas satu-satunya jadi korban demi membeli laptop ini. Tak apa, toh, ini demi menyalurkan hobiku yang sudah lama mengendap. Yakni, menulis.

Berkat bantuan Mas Julian, aku membeli laptop dengan harga miring. Dia memberi informasi tentang toko elektronik yang murah tak jauh dari tempatku bekerja. Maka dari itu, kuucapkan terima kasih padanya. Mas Julian memang banyak membantu. Aku berhutang budi padanya.

Malam kian larut. Sebelum tidur, aku akan memastikan satu hal.

Melangkah keluar kamar, dan di batas tangga aku melongok ke lantai bawah, ke ruang keluarga.

TV sudah mati, Mas Ibas juga sudah tak ada di sana. Senyum tipis menyembul dari bibirku, menyadari bahwa dia masih menghiraukan saranku untuk segera tidur.

***

Seminggu berlalu. Aktivitasku tak lebih dari mengerjakan urusan rumah dan pergi ke butik. Membosankan. Terlebih, ada yang berubah.

Mas Ibas kembali pada sikapnya yang dulu. Dingin. Aku menyadari itu dan berusaha tidak peduli, tapi entah mengapa diri ini merasa tak rela jika dia mengacuhkan lagi. Padahal, aku sendiri juga mendiamkannya. Bukankah memang seharusnya seperti ini?

Di rumah, aku dan Mas Ibas tak saling bicara. Hanya satu dua kata saja yang dilontarkan, itu pun jika benar-benar dibutuhkan. Kami layaknya dua nyawa yang tak menyadari keberadaan masing-masing. 

***

Hari ini, mentari begitu terik menyengat pori-pori kulit. Aku menghela napas panjang dan berkali-kali menyeka keringat di dahi. Berjalan di trotoar pada siang hari bolong seperti ini ternyata melelahkan.

Kebetulan, hari ini libur kerja. Daripada berdiam diri di rumah, aku lebih memilih keluar. Mungkin mencari taman bacaan dan menghabiskan waktu dengan buku, bisa sedikit mengusir bosan.

"Butuh teman?"

Tiba-tiba sosok tinggi sudah berdiri di samping dan mengimbangi langkahku.

"Mas Julian?" Langkahku terhenti dan menoleh.

"Ya, ini aku," kekehnya.

"Ngapain di sini?"

"Mengikutimu."

"Apa?"

"Mengikutimu, Aruna."

"Maksudku ... untuk apa mengikutiku?"

"Karena aku rindu. Ups," ucap Mas Julian menutup mulutnya, "keceplosan."

Kelakuan pria ini selalu membuatku salah tingkah, antara lucu tapi juga malu.

"Jangan bercanda, Mas." Aku meneruskan langkah, tak acuh pada pria yang terus mengikutiku.

"Tapi aku serius."

Kembali, aku menoleh padanya. Senyum mengembang membuat matanya semakin sipit.

"Aku serius. Aku kangen sama si gadis berlesung pipit ini," ucapnya lagi.

Hening.

Apa perkiraanku tak salah? Sorot wajah Mas Julian memang terlihat tidak bercanda ketika mengatakannya. Namun, segera kuenyahkan prasangka ini, entah itu benar ataupun tidak.

Aruna Mencari Cinta (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang