bab 18

1.1K 27 0
                                    

"Aruna ...!"

Langkahku terhenti ketika terdengar seseorang berseru. Aku berbalik, menoleh pada asal suara.

Di sana, sekitar sepuluh langkah dari tempatku berdiri, seseorang keluar dari mobil yang baru saja terparkir di basemen. Wanita yang mengenakan rok sepan di atas lutut dan kemeja khas pekerja kantoran itu, menatap lurus ke arahku.

Kaki jenjang beralas pantofel berhak tinggi itu berjalan anggun mendekatiku, hingga jarak kami hanya tersisa dua langkah.

Aku menyipit, memastikan penglihatanku ini tidak keliru, dan ... ya, benar. Aku mengenali wanita ini. Wanita yang dua kali tertangkap basah bersama Mas Ibas waktu itu.

"Aruna, kan?" tanyanya lagi sembari mengangkat kedua alis.

Jantung bertalu kencang, meronta, seolah hendak merubuhkan rongganya.

Sebenarnya enggan, tapi pada akhirnya aku mengangguk dan menjawab, "Ya, saya Aruna. Mbak siapa, ya? Dari mana tau nama saya?"

Terpaksa, aku berpura-pura tak mengenalinya. Padahal, dua kali memergokinya bercengkerama dengan Mas Ibas waktu itu, membuat otakku merekam jelas gurat wajahnya. Tak mungkin lupa begitu saja. Bahkan, detik ini, batinku dicekik.

Wanita ini tersenyum tipis, seraya mengulurkan tangan ke arahku. "Aku Meilan," ucapnya. "Dan aku sangat kenal baik dengan suamimu. Ibas."

Kubalas jabatan tangannya, walau hati mencelos. Meilan mengungkapkan itu dengan ringan dan semringah. Tidak bisakah dia mengerti perasaan sesama wanita? Aku di sini terbakar.

Dia kembali berkata, "Kebetulan sekali kita bertemu di sini." Bola matanya bergerak menelusuri diriku dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuatku amat risih. "Aku rasa ... yang Ibas keluhkan tentangmu ternyata nggak sepenuhnya benar."

"Maksud Anda apa, Mbak?" Aku mengernyit heran.

"Ya ... ternyata kamu nggak seburuk yang Ibas bilang," ujarnya, seketika membuatku tercekat. "Ibas pernah bilang, bahwa dia dijodohkan dengan gadis yatim piatu dari kampung, yang sama sekali nggak sesuai dengan sosok istri idamannya. Tapi aku rasa kamu cukup menarik, kok. Jauh lebih cantik dibanding dalam foto."

Diangkat, kemudian dihempas keras! Sesak. Sakit. Remuk.

Lidah tak bertulang. Dan mulut wanita ini benar-benar tajam, terasa sangat menyakitiku. 

Terlebih ... benarkah Mas Ibas bicara begitu tentangku? Kepada wanita ini? Setega itu dia padaku!

"Oh, ya? Dia bilang begitu tentangku?" Dengan suara bergetar, aku coba bicara, walau lebih mirip cicitan.

"Astaga ... maaf, Aruna, maaf. Aku nggak bermaksud menyinggungmu. Tapi Ibas memang bicara seperti itu. Ya, dia terbiasa mengeluarkan unek-uneknya padaku. Nggak ada rahasia di antara kami. Mungkin dia terlalu nyaman denganku, karena saking lamanya kami mengenal." Dia tersenyum miring penuh sindiran. "Bahkan, sampai sekarang pun kami--"

"Maaf, aku harus pulang." Aku menyergah cepat, membuat sorot wajah wanita di hadapanku seketika memberengut kesal. "Dan Anda juga nggak perlu menjelaskan seperti apa hubungan kalian. Baik itu di masa lalu, sekarang, atau nantinya. Itu bukan urusanku. Sungguh, aku nggak berhak peduli."

Dia mendengkus kasar. Berdiri pongah dengan menyilangkan tangan di dada. 

Tiba-tiba pikiranku tertuju pada satu hal. Mungkin saja, hubungan Mas Ibas dan Meilan memang terlampau jauh, hingga dia menghamili wanita ini. Bisa jadi, kan?

Kusunggingkan senyum tipis, menatap manik matanya dengan tajam, sembari berucap datar, "Satu hal. Seburuk apa pun yang dikatakan Mas Ibas tentangku, setidaknya aku tetap bisa mempertahankan kehormatan sebagai perempuan." Aku menaikkan sebelah alis, dan semakin menekan kalimatku. "Nggak seperti beberapa orang di luaran sana, yang sukarela membuka selangkangan untuk lelaki yang bukan suaminya. Bukankah itu sangat murahan, Mbak?"

Aruna Mencari Cinta (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang