Bab 24 (a)

1.2K 20 2
                                    


Berhari-hari kemudian.

Keputusan benar-benar sudah bulat, Mama dan Papa pun telah merestui niatku untuk bercerai. Bahkan, mereka menyewa seorang pengacara untuk membantu segala urusan terkait hubunganku dengan Mas Ibas agar segera tuntas.

“Kami ingin kamu bahagia, Nak. Menikmati kebebasan tanpa batasan.” Begitu kata Papa di telepon kemarin, ketika aku bertanya alasannya repot-repot membantu urusan perceraianku.

Jangan sungkan meminta bantuan kami, kalau kamu sedang dalam masalah, Aruna. Kami tetap orang tuamu,” ucap Papa lagi.

Aku menangis haru. Perhatian Papa begitu tulus tanpa pamrih, membuatku merasa benar-benar seperti anak kandungnya.

Sampai detik ini pun, aku tak paham alasan, kenapa Papa begitu menyayangiku.

Akan tetapi, ketika mengingat Mas Ibas, batin ini menjerit.

Bagaimana tidak?
Terhitung sejak hari pertamaku pergi darinya, dia sama sekali tidak menunjukkan iktikad baik. Jangankan datang dan meluruskan persoalan, sekadar menghubungiku pun, tidak. Bahkan, saat bertemu sekilas sewaktu di rumah Papa pun, dia tak acuh. Tingkahnya menyiratkan seolah perpisahan kami adalah hal sepele baginya.

Hati kecilku sempat mengira Mas Ibas akan datang. Walau bukan untuk mengurai kembali kusutnya benang merah di antara kami, tetapi setidaknya, hubungan kami akan putus dengan cara baik-baik.

Nyatanya, dia tak pernah menampakkan batang hidungnya. Lagi-lagi, ego seorang Baskara berkuasa. Dia tak mungkin memperlihatkan kekalahannya, bukan?

Aku berusaha tak peduli, tapi sudut hati tetap mengkhawatirkannya. Tak ayal, suatu ketika aku menanyakan kabar lelaki itu pada Mama.

Gimana kabar Mas Ibas, Ma? Apa ... dia sehat?”

Penuh ragu pertanyaanku itu. Apa mau dikata, seminggu tak mendengar kabar Mas Ibas, telah memupuk rasa cemasku.

Bagaimana keadaannya di sana? Apa dia baik-baik saja? Seperti apa kesehariannya tanpa aku?

Lucu, memang. Semua kekhawatiranku pada Mas Ibas, seolah melambungkan kepercayaan diri, bahwa aku berarti dalam hidupnya. Padahal, tidak sama sekali.

Mama menjawab, “Jangan pikirkan Ibas. Dia sudah terbaisa hidup mandiri. Alangkah lebih baiknya kamu menata masa depanmu, dan lupakan dia.”

“Iya, Ma ....” Hanya itu yang bisa terucap. Namun, hati berkata lain.

Bagaimana mungkin, aku bisa dengan mudah melupakan seorang pria, yang sudah menyemai benih-benih cinta dalam hati ini?

Entah, aku ini naif atau apa, tetapi terlepas dari perilaku kerasnya, aku sangat menyayangi Mas Ibas .

Sangat.

***

Aku berjalan menuju rumah, setelah turun dari angkutan umum. Baru saja menemui seorang pengacara yang ditunjuk Papa, dan melengkapi beberapa berkas yang diminta, agar perceraianku segera tuntas.

Statusku akan segera berubah, tak lama lagi.

Saat tengah berjalan, aku berpapasan dengan beberapa orang yang kukenal. Mereka menyapa, tapi tak lagi mempertanyakan perihal kesendirianku selama dua minggu di sini, tanpa sang suami.

Tentu saja, orang-orang pasti bisa menyimpulkan sendiri, apa yang sedang kualami, dan seperti apa nasibku kelak. Si gadis desa, yang dulunya dijadikan bahan perbincangan karena dipersunting pria mapan dan rupawan, pada akhirnya kembali “pulang” ... seorang diri.

Aruna Mencari Cinta (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang