Prolog

213 6 0
                                    

Gemuruh langit dan rintik hujan terus menari di atas tanah, Moanna berdiri mematung di bawah langit menyeramkan. Hujan saat malam selalu menjadi tempatnya bersembunyi, di mana air matanya tidak akan pernah terlihat. Di balik setiap tetes yang membasahi wajahnya, tersimpan rahasia hati yang tidak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Hujan adalah temannya, perisainya. Angin membawa dingin yang menusuk kulit, tetapi Moanna tidak bergeming. Hujan mengguyur lebih deras, seolah-olah alam memahami kesedihan yang ia simpan begitu dalam. Waktu seperti membiarkannya terjebak dalam dingin yang menyesakkan dada. Air hujan terus mengalir dari rambut hingga ke pakaian yang basah kuyup, namun tidak bisa membasuh perih di hatinya. Moanna menutup matanya, membiarkan nostalgia menyelimuti jiwanya. Dalam hening, ia merasakan pelukan kenangan, seakan hujan membawanya kembali ke saat-saat penuh tawa. Meski waktu telah berlalu, kebahagiaan itu tetap hidup, terukir dalam hatinya, abadi seperti hujan yang selalu datang kembali. Setiap detik terasa melambat. Hujan menciptakan irama yang sejalan dengan kesedihan.

"Mengapa harus semenyakitkan ini?" Tanyanya hanya di dalam hati. Setiap kata terasa berat, seperti batu yang terpendam di dasar jiwanya. Meski mulutnya terkatup rapat, pikirannya terus berputar, mencari jawaban atas rasa sakit yang menyelimuti. Moanna ingin berteriak, mengeluarkan semua perasaannya, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Hanya satu keinginan yang tersisa: menemukan cahaya di tengah kegelapan. Dalam hati, ia berdoa agar ada jalan keluar dari rasa sakit yang menyesakkan.

Moanna mengepalkan tangan, berharap air yang membasahi jemarinya bisa mengalihkan pikirannya, tapi itu sia-sia. Malam dingin menambah rasa sakit yang menggerogoti. Setiap tetes air yang jatuh di tanah, setiap gemuruh yang menggema, mengingatkan bahwa ia tidak bisa selamanya berlari dari kenyataan.

"Hujan, tolong lebih lama lagi, dan air mata ini, biar aku sendiri yang mengetahuinya." Bisiknya pelan.

Hujan seolah mengerti, mengalirkan lebih banyak tetesan, menutupi kesunyian yang mengganggu. Dunia di sekitarnya seperti melupakan kehadirannya, dan itulah yang ia inginkan. Dalam sunyi dan hanya ditemani gemercik air, Moanna merasakan kebebasan. Ia tidak perlu lagi menutupi luka yang menggores hatinya. Di bawah langit yang menangis bersamanya, Moanna belajar bahwa kesunyian di balik hujan adalah tempat paling aman untuk menjadi diri sendiri.

Tepat satu tahun yang lalu dalam hujan yang sama, ada seseorang yang hadir di samping Moanna. Ia ingat betul sosok itu, kehadirannya begitu hangat di tengah dinginnya malam, memberi rasa nyaman yang sulit dijelaskan. Saat itu, hujan juga menutupi air matanya, ada tangan yang menyentuh lembut bahunya, ada suara khas yang menenangkan.

"Jangan takut, aku di sini, untuk kamu, Mo." Suara itu pelan, seakan mengerti segala kesedihan Moanna.

"Bagaimana bisa kamu mengetahui keberadaanku?" Tanya Moanna.

Sosok itu melangkah mendekat, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangannya yang dingin. "Karena aku sangat mengenal kamu. Dan aku tahu betapa beratnya semua ini," jawabnya, nada suara penuh empati. "Adanya aku di sini, adalah untuk meminta kamu berbagi tentang kesedihan yang kamu rasakan, atau jika bisa, beri saja semua kesedihan itu, aku sanggup."

"Aku seperti kehilangan arah, jangan ikuti langkahku, aku akan membebani kamu."

"Moanna, kemana pun kamu melangkah, aku akan selalu ada di dekat kamu. Jangan khawatirkan aku, aku saja yang boleh mengkhawatirkan kamu. Itu semua karena kamu berarti."

Moanna mengangguk, merasa beban di pundaknya berkurang. "Terima kasih, cinta."

"Jangan pernah merasa sendiri, cinta. Karena aku akan selalu ada."

Kehadiran orang itu di masa lalu seperti menjadi penopang, memberi kekuatan tanpa harus mengatakan banyak kata. Keduanya hanya berdiri di sana, di bawah payung rinai hujan, tanpa perlu menjelaskan apapun. Setiap senyuman kecil, setiap sentuhan lembut, sudah lebih dari cukup. Hujan menyelimuti keduanya dalam keheningan yang penuh arti, seakan dunia hanya untuk mereka. Orang itu selalu menjaganya. Tidak pernah sekalipun menggoreskan luka. Sebaliknya, kehadirannya selalu menjadi penyembuh dari pedih yang mengendap di hati Moanna. Setiap kali hati Moanna terasa retak, orang itu ada untuk menyatukan kembali serpihan-serpihan itu. Kehadirannya begitu kuat, tetapi tidak menekan. Ia memberikan Moanna kebebasan untuk menjadi diri sendiri.

"Kita akan berbahagia, Moanna." Ucapnya saat itu. Kata-kata itu memiliki kekuatan yang mampu meredakan gelombang di dalam hati Moanna. Saat semuanya terasa begitu berat, saat dunia seakan menghimpitnya dari segala arah, hanya dengan kata-kata itu, Moanna merasa bisa bernapas kembali. Orang itu selalu tahu kapan Moanna membutuhkan dukungan, bahkan sebelum Moanna menyadarinya sendiri.

Mereka bersatu dalam pelukan hangat. "Kamu rumahku, kamu adalah tempat yang tepat untuk aku, hanya kamu." Moanna berbisik.

Namun, semua sudah berbeda. Sosok yang dulu begitu dekat, kini terasa jauh. Ia masih ada di dunia, namun bagai terpisah oleh tembok tidak kasat mata. Moanna membiarkan ingatan itu membanjiri dirinya seperti tetesan air yang jatuh dari langit. Rambutnya yang cokelat tampak lebih gelap di bawah hujan malam. Basahnya rambut itu seakan menambah beban pada kepalanya, tetapi Moanna tidak peduli. Tubuh mungilnya seakan tenggelam dalam gelapnya malam. Kulitnya yang putih tampak pucat, sementara bibirnya yang berwarna merah jambu sedikit bergetar, menahan kesedihan yang terus ia sembunyikan. Sesekali, suara mobil dan kendaraan lain terdengar melintas di kejauhan, namun tidak satu pun berhenti. Seolah dunia terus berjalan, sementara hatinya seakan hancur dan terhenti di tempat itu. Moanna melangkah perlahan, kakinya terasa berat seiring dengan perih yang menguasai setiap jengkal tubuhnya. Hujan masih saja mengguyur, masih menyamarkan tangis yang tidak dapat ia tahan. Setiap langkah seperti menusuk hatinya, namun ia terus berjalan, meski dunia di sekitarnya tampak acuh pada rasa sakit yang ia bawa. Kota yang dipenuhi kenangan bersama sosok yang ia cinta terasa begitu sunyi, seolah membisu atas segala rasa yang kini membebaninya. Setiap sudut jalan mengingatkannya pada tawa dan senyum yang dulu pernah mewarnai hidupnya. Kini, semua itu hanya menyisakan kehampaan dan luka.

Hingga hujan pun reda, tetapi rasa sakit masih ada. Hujan benar-benar telah berhenti, kesedihan itu masih membekas. Moanna menghela napas, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melangkah kembali. Ia memeluk dirinya sendiri, mengeratkan lengan di sekeliling tubuhnya seolah ingin menciptakan ruang aman dari dunia yang terasa keras. Dalam pelukan itu, Moanna merasakan kekuatan yang perlahan mengalir kembali, meski rasa sakit masih mengendap di sudut-sudut hatinya. Moanna berjanji untuk terus berjuang, satu hari demi satu hari, hingga ia mampu menemukan cahaya baru dalam hidupnya.

Setiap detak jantungnya mengingatkannya bahwa ia masih hidup, masih bisa mengungkapkan ribuan harapan, meski saat ini semuanya terasa begitu sulit. Dengan tekad yang tumbuh di dalam diri, Moanna membayangkan masa depan di mana rasa sakit ini hanya menjadi bagian dari perjalanan. "Aku akan bangkit, aku akan bangkit," ujarnya dalam hati, mengucap kalimat itu berulang kali.

Pelangi Pekan Ini (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang