Pagi itu, sebelum berangkat ke sekolah, Moanna terdiam sejenak di depan pintu kamarnya. Seperti sebuah kilasan ingatan tiba-tiba masuk ke dalam pikirannya, ia teringat saat Andini sering menjemputnya menggunakan sepeda listrik. Andini adalah satu-satunya sahabat perempuan Moanna di antara yang lain, ikatan yang telah terjalin sejak mereka mengenal satu sama lain. Dalam keramaian teman-teman laki-laki, Andini selalu menjadi tempat berbagi untuk Moanna. Masa-masa itu terasa begitu jauh, namun sekaligus begitu jelas. Mereka berdua selalu tertawa sepanjang perjalanan, bercanda tentang hal-hal sepele, berbagi mimpi, dan sering kali tidak ingin sampai terlalu cepat di sekolah. Keduanya tidak terpisahkan. Moanna dan Andini sama-sama menyukai warna merah jambu—mulai dari tas sekolah, botol minum, hingga pena di dalam tempat pensil mereka. Barang-barang mereka terlihat begitu serupa hingga orang-orang menilai keduanya seperti saudara kembar. Bahkan, boneka kecil lucu yang selalu mereka bawa ke mana-mana juga hampir identik, hanya berbeda sedikit dalam bentuk dan ukuran. Hidup mereka seperti cermin satu sama lain, penuh warna dan kebersamaan yang manis.
Dulu, mereka saling melukis di bawah sinar matahari, membiarkan imajinasi mereka mengalir bebas di kanvas. Setiap goresan kuas menjadi ekspresi dari kebahagiaan dan mimpi-mimpi yang mereka bagi. Salah satu kenangan terindah adalah saat mereka bekerja sama untuk melukis mural di dinding sekolah. Moanna dan Andini berdiskusi tentang tema dan warna, tertawa bersama saat mencoba berbagai kombinasi yang konyol. Hasilnya adalah mural yang indah, mencerminkan persahabatan dan kreativitas mereka. Pernah juga mereka memenangkan lomba tari, momen yang penuh semangat dan kegembiraan. Bersama Andini, Moanna berlatih keras, menghabiskan waktu berjam-jam di studio untuk menyempurnakan gerakan dan ritme. Setiap kali musik dimainkan, mereka merasakan aliran energi dan kreativitas yang mengikat mereka lebih erat. Moanna juga ingat, Andini pernah putus cinta, dan betapa sakitnya saat itu bagi sahabatnya. Andini terlihat begitu hancur, kehilangan semangat dan senyum yang biasanya ceria. Moanna berusaha menjadi pendengar yang baik, mengajak Andini berbicara tentang perasaannya, mendukungnya di saat-saat sulit. Mereka menghabiskan malam-malam bersama, berbagi cerita dan air mata. Moanna mengingat bagaimana mereka pernah duduk berdua di taman, ditemani susu hangat, saat Andini meluapkan semua kesedihannya. Seiring waktu, Andini mulai pulih, berangsur-angsur menemukan kembali keceriaannya. Momen-momen itu memperkuat ikatan persahabatan mereka, mengingatkan Moanna akan pentingnya saling mendukung dan menguatkan satu sama lain dalam menghadapi tantangan hidup. Yang paling berkesan adalah saat mereka mendaki gunung bersama, dan Andini sangat ketakutan menghadapi ketinggian. Ketika melihat jurang di bawahnya, wajah Andini berubah pucat, dan ia menggenggam erat tangan Moanna, ketakutan meliputi dirinya. Melihat sahabatnya cemas, Moanna tersenyum dan berusaha mengalihkan perhatian Andini dengan cara yang unik. "Hei, lihatlah, kita sedang dalam misi rahasia! Kita adalah dua petualang pemberani yang harus menemukan harta karun di puncak gunung!" katanya dengan semangat.
Moanna dan Andini dulu sepakat, akan menikah di hari yang sama, seolah-olah hidup mereka akan selalu terjalin dalam satu perjalanan. Mereka sering bercanda tentang masa depan, menggambarkan momen-momen indah di mana mereka akan mengenakan gaun pengantin yang anggun dan berbagi hari bahagia. Mereka membayangkan betapa indahnya jika bisa merayakan cinta bersamaan, mengundang teman-teman, dan merayakan persahabatan yang telah mengikat mereka. Saat mengucapkan harapan itu, rasa percaya diri dan keyakinan memancar dari mata mereka, seolah dunia akan berpihak pada impian mereka.
Semua itu tinggal kenangan yang terserak. Moanna menyadari, ada sesuatu yang tidak bisa lagi ia raih. Semua berubah karena sebuah kesalahan yang ia lakukan. Sebuah kesalahan yang terlalu berat untuk dihapus begitu saja dari ingatan sahabat-sahabatnya. Kesalahan itu tidak hanya melukai Dareen, tetapi juga membawa kemarahan dari orang-orang yang dulu ada di lingkaran mereka. Mereka semua, yang dulunya dekat seperti keluarga, telah berubah menjadi orang-orang asing yang penuh kekecewaan dan rasa marah.
Moanna menghela napas dalam-dalam. Setiap langkah menuju sekolah terasa begitu berat. Ia tahu, di sanalah ia akan bertemu mereka lagi. Andini dengan tatapan yang dulu penuh keceriaan, menjadi dingin. Perubahan itu mencolok dan menyakitkan, membuat Moanna merindukan sosok sahabatnya yang dulu. Daffa yang selalu ceria, tidak lagi menyapanya dengan senyuman. Moanna merindukan senyuman lebar dan tawa khasnya yang selalu mampu menghangatkan suasana. Moanna merindukan sosok Daffa yang lucu, yang selalu berhasil membuatnya tertawa dengan lelucon konyolnya dan caranya menghadapi berbagai situasi. Daffa pernah mengatakan, bahwa mereka akan selamanya bersahabat, sebuah kalimat yang selalu terukir di hati Moanna. Abe, tidak pernah mengangkat kepala ketika Moanna ada di dekatnya. Rasa sakit itu begitu nyata. Moanna bisa merasakan ketegangan di udara setiap kali mereka berada di satu ruangan.
Moanna terus berjalan, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Semuanya berubah begitu cepat. Persahabatan yang dulu begitu kuat terasa hancur berkeping-keping. Moanna hanya bisa berharap suatu hari nanti, semuanya bisa kembali seperti dulu—walau ia tahu, harapan itu mungkin terlalu tinggi untuk dicapai.
Moanna memperhatikan bahwa Andini tidak lagi menggantungkan boneka lucu di tasnya—boneka yang dulu selalu identik dengan miliknya. Gantungan itu telah hilang, digantikan oleh sesuatu yang baru. Bahkan, warna kesukaan Andini pun telah berubah, seolah ingin menghapus segala jejak kebersamaan mereka. Rasanya seperti pesan tidak terucap, bahwa Andini tidak ingin lagi ada kaitannya dengan Moanna, seakan persahabatan yang dulu pernah ada telah sepenuhnya lenyap. Bahkan saat pandangan mereka tidak sengaja bertemu, Andini segera mengalihkan matanya, seolah tidak ingin ada koneksi sekecil apa pun dengan Moanna. Tatapan yang dulu penuh kehangatan, terasa seperti tembok dingin yang tidak bisa ditembus. Moanna hanya bisa berdiri di sana, menatap punggung Andini yang menjauh, merasakan bagaimana jarak di antara mereka semakin melebar tanpa kata.
Tapi Moanna melihat Beno, yang masih tersenyum untuknya di kejauhan. Senyumnya itu, meskipun sederhana, memberikan kehangatan di hati Moanna. Beno selalu memiliki kemampuan untuk melihat sisi positif dalam setiap situasi, dan tatapan penuh pengertian itu seolah menjadi cahaya di tengah kegelapan yang mengelilinginya.
Moanna selalu ingat kata-kata Beno yang selalu menguatkannya, seolah-olah membisikkan keyakinan di hatinya. "Jangan pernah merasa sendiri, kalau lagi bersedih kamu bisa datang ke aku, kita akan berbagi," begitu sering Beno mengingatkannya ketika ia merasa terpuruk. Kata-kata itu seperti sesuatu yang mampu menghapus keraguan dan ketakutannya, membangkitkan harapan yang kadang-kadang nyaris pudar. Setiap kali Moanna menghadapi kesulitan, Moanna mencoba mengingat bahwa ada seseorang yang peduli, yang akan selalu mendukungnya. Kehadiran Beno, meskipun kadang jauh, menjadi sumber kekuatan yang mengingatkan Moanna bahwa ia tidak sendiri, dan bahwa harapan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun. Moanna menghargai setiap nasihat, setiap senyuman, dan setiap kata penyemangat yang pernah Beno berikan. Dalam perjalanan hidupnya yang penuh liku, Moanna tahu bahwa persahabatan mereka adalah salah satu hal terindah yang dimiliki. Beno mengajarkannya arti dari ketulusan dan keberanian, serta pentingnya saling mendukung. Ia bertekad untuk menjaga ikatan itu, berharap bisa menjadi sahabat yang sama baiknya seperti Beno bagi dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Pekan Ini (Selesai)
Teen FictionMoanna menyimpan sebuah rahasia yang bahkan tidak berani ia ungkapkan pada orang yang paling ia cintai. Rahasia yang perlahan-lahan mengikis kehidupannya, membuat Moanna terpaksa menjauh dari orang-orang terdekat, termasuk para sahabatnya. Mereka ti...