-Perpisahan Kedua-

31 2 0
                                    

Dareen duduk di bangku kayu taman, matanya menatap lurus ke arah langit senja yang perlahan berubah warna. Di depannya, hamparan bunga bermekaran dengan warna-warna lembut, mengiringi suasana tenang yang menyelimuti taman itu. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, namun pikirannya terlalu sibuk untuk benar-benar merasakan kedamaian di sekelilingnya.

Moanna pun tiba. Gadis itu berjalan pelan ke arah Dareen, mengenakan gaun putih yang anggun, sederhana namun begitu manis. Rambutnya dibiarkan tergerai, diayun oleh angin lembut sore itu. Moanna selalu terlihat memikat, tapi hari itu, dengan baju putih yang bersinar di bawah cahaya matahari yang mulai meredup, ia lebih dari sekadar indah—ia tampak seperti bagian dari ketenangan alam di sekelilingnya.

Dareen berdiri ketika Moanna mendekat. Senyumnya hangat. "Selamat datang, perempuan yang sangat aku cintai."

Moanna membalas senyum Dareen. "Kamu, juga. Seseorang yang sangat aku cintai."

Keduanya duduk di bangku yang sama, berhadapan dengan pemandangan taman yang begitu indah. Sejenak, keduanya terdiam, hanya menikmati keindahan sore itu. Namun, Moanna bisa merasakan ada sesuatu yang berat di pikiran Dareen, sesuatu yang ingin ia sampaikan tapi sulit untuk diucapkan.

"Dareen." Moanna akhirnya memecah keheningan. "Cerita tentang Ibu Vivi yang sempat melarikan diri itu sudah sampai ke aku."

Dareen menghela napas panjang, menunduk sebentar sebelum akhirnya memandang Moanna. "Apa bisa, hari ini kita bercerita tentang kita saja, Mo?"

Moanna menggelengkan kepalanya, "Dar. Mama kamu, Mama kamu berniat mengakhiri hidupnya. Karena aku, Dar. Karena hubungan kita."

"Mo, aku tau dan kamu juga tau tentang kondisi Mama. Kita cari waktu yang tepat, Mama pasti bisa menerima hubungan ini."

"Dar,"

"Mo, kamu mau berjuang, kan?"

Moanna terdiam, menatap Dareen.

"Mo, rasa yang kita punya ini sama, jadi harus dipertahankan. Kita sama-sama cinta."

Mata Moanna berkaca-kaca. "Rasa kita memang sama, Dar. Tapi rasa ini yang menjadikan aku hidup dalam rasa bersalah terus menerus. Alasan aku pergi dari kamu dulu, karena aku terlalu sayang sama kamu, Dar. Aku nggak mau kamu hidup tanpa orang yang berarti buat kamu, Mama kamu, Dar. Aku nggak mau kamu ngerasain bagaimana menjalani kehidupan tanpa sosok itu. Aku sudah merasakannya, Dar. Sakit sekali rasanya, Dar. Jadi tolong, aku sudah terluka dengan kisah hidupku sendiri. Maka, buat aku bahagia dengan cerita bahagia kamu, Dar."

"Mo, tapi kamu juga bagian cerita bahagiaku." Mata Dareen ikut berkaca-kaca.

Moanna menunduk, memandang tangannya yang gemetar di pangkuannya. "Dulu, setelah aku mengakhiri hubungan kita, setiap malam aku nangis, Dar. Setiap malam, setiap ucapan tentang pengakuanku bahwa sama kamu aku nggak bahagia itu selalu terngiang di kepalaku, sementara kenyataannya aku bahagia, bahagia banget. Karena kehadiran kamu di hidup aku, aku tau keindahan itu, Dar. Aku tau rasanya bangun pagi dengan harapan yang benar-benar membahagiakan. Aku tau seperti apa rasanya makanan-makanan favorit kita membuat aku terus ingat sama kamu."

"Kamu berhasil membuat aku merasa kecewa bertahun-tahun. Tanpa aku ketahui, yang kamu lakukan ke aku adalah bukti cinta sebesar ini. Harusnya rasa kecewa itu nggak lebih besar, Mo. Maaf, maaf, Mo."

"Dar, tentang perpisahan kita waktu itu, mungkin bisa kita lakukan lagi. Demi kebaikan semuanya, Dar."

"Nggak, Mo. Aku nggak bisa."

Moanna mengusap tangan Dareen dengan lembut, menahan air matanya sendiri. "Dar, selamanya, jika kita hidup bersama, selama itu pula aku menyakiti satu-satunya wanita berharga kamu. Kamu harus ingat itu, Dar. Kesehatan Ibu Vivi."

Pelangi Pekan Ini (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang