-Tidak Pernah Pergi-

94 6 0
                                    

Sekolah mengadakan pertandingan basket antar kelas, dan Dareen menjadi bintang utama timnya. Sudah lama, Dareen dikenal sebagai pemain basket andal, seorang yang selalu menjadi andalan di lapangan. Seluruh siswa berbondong-bondong datang untuk menonton pertandingan tersebut, termasuk Moanna. Meskipun ia tidak lagi menjadi bagian dari lingkaran dekat Dareen, hatinya tetap tertambat pada setiap gerakan Dareen di lapangan. Meski Moanna telah memutuskan hubungannya dengan Dareen, jauh di dalam hatinya, ia tidak pernah benar-benar ingin pergi. Cintanya pada Dareen tidak pernah hilang. Ia masih menyimpan perasaan itu, tersembunyi.

Moanna duduk di bangku penonton paling atas, jauh dari riuh sorak-sorai teman-temannya yang berada di depan. Dari tempat itu, ia bisa melihat Dareen dengan jelas, meski tanpa terlihat. Bola basket melayang di udara, dan Dareen melompat untuk menangkapnya dengan gesit, mengelak dari lawan-lawannya yang mencoba menghadang. Setiap kali Dareen melakukan tembakan, hati Moanna berdegup kencang, seolah ia masih terhubung dengan segala semangat dan kerja keras Dareen. Sorakan dan teriakan dukungan terus menggema di lapangan, Moanna hanya diam, membiarkan tatapannya mengikuti gerakan Dareen. Di balik diamnya, Moanna adalah pendukung yang paling setia. Ia masih ingin Dareen menang, masih ingin melihat senyuman bangga di wajah Dareen ketika mencetak skor untuk timnya. Ia masih ingin menjadi bagian dari kebahagiaan Dareen, meski tanpa disadari oleh siapa pun.

Ketika waktu pertandingan hampir habis dan skor masih imbang, Dareen membawa bola dengan kecepatan luar biasa. Ia menembus pertahanan lawan, matanya fokus ke arah ring. Di saat yang sama, Tara Anggita, gadis paling cantik di sekolah, yang duduk di barisan depan, berteriak mendukung Dareen dengan penuh semangat. Dareen merespon dengan baik. Moanna merasakan sedikit pedih menusuk hatinya, tapi ia tetap diam.

Di momen yang menentukan, saat Dareen mencoba menerobos dua pemain lawan, tiba-tiba salah satu lawan tidak sengaja menabraknya dari samping. Tubuh Dareen oleng, dan ia terjatuh dengan keras di atas lantai lapangan. Suara benturan keras terdengar, dan seluruh penonton yang tadinya bersorak riuh mendadak terdiam.

"Dareen...." Moanna, yang duduk jauh di belakang, merasakan hatinya tercekat saat melihat Dareen jatuh. Ia segera berdiri, tubuhnya gemetar. Mata Moanna terpaku pada Dareen yang masih tergeletak di lantai, memegangi kaki kirinya dengan wajah meringis kesakitan. Tanpa sadar, Moanna mengepalkan tangannya erat-erat, berusaha menahan rasa khawatir.

Wasit segera menghentikan pertandingan, dan tim medis bergegas masuk ke lapangan. Moanna hanya bisa berdiri diam, memandangi dari jauh dengan dada sesak. Dareen berusaha bangkit, tetapi rasa sakit di kakinya tampak terlalu hebat. Ia mencoba berdiri dengan dibantu rekan-rekannya, tapi lutut kirinya tidak kuat menopang tubuhnya.

Tara Anggita, yang duduk di barisan depan, dengan cepat berdiri dan menghampiri Dareen bersama beberapa teman lainnya. Semua mata tertuju pada Dareen yang tengah duduk di pinggir lapangan, berusaha menahan rasa sakit. Tim medis membawa Dareen keluar dari lapangan, Moanna tidak bisa menahan perasaannya. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit dari tempat duduk dan mencoba mengikuti dari jauh. Rasa khawatir menguasai pikirannya, membuat langkah-langkahnya terasa semakin cepat, meskipun hatinya tahu bahwa ia seharusnya menjaga jarak.

Sesampainya di ruang medis, tim Dareen berkumpul di luar ruangan, menunggu kabar dari dalam. Moanna berhenti di ujung koridor, menyandarkan dirinya di dinding. Napasnya memburu, bukan karena lelah, melainkan karena kekhawatiran yang tidak terbendung.

Moanna mencoba menenangkan pikirannya, meski dadanya terasa begitu berat. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Dareen telah berakhir. Ia telah memilih untuk pergi, bahkan ketika hati kecilnya menolak keputusan itu. Tapi saat Dareen terluka, Moanna tidak bisa menahan keinginannya untuk berada di dekat laki-laki itu.

Teman-teman Dareen pergi secara bergantian untuk kembali ke lapangan. Mereka memberikan ruang bagi Dareen untuk beristirahat. Setelah memastikan tidak ada orang lain, Moanna membuka pintu ruang medis. Dareen terbaring di ranjang, kaki kirinya terbalut perban dan ditempatkan di atas bantal. Ekspresi wajah Dareen menunjukkan campuran rasa sakit dan kelelahan.

"Dareen," Moanna mendekat. "Aku khawatir banget sama kamu."

Dareen memandang Moanna, "buat apa kamu ke sini?"

Moanna merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata Dareen. Ia tahu bahwa mendengar kemarahan Dareen adalah hal yang sulit, tetapi ia tetap berdiri di sana, berusaha untuk tetap tenang. "Dareen," ujarnya dengan suara lembut, "aku datang ke sini karena aku mau memastikan kalau kamu baik-baik aja. Aku nggak bisa hanya mengabaikan apa yang terjadi sama kamu."

"Nggak ada yang baik-baik aja, Moanna," balas Dareen dengan penuh penekanan.

"Dareen, akuuuu," Moanna terbata-bata.

"Kamu sadar, kita tuh nggak baik-baik aja, Mo. Jadi jangan bersikap kalau kita masih bisa baik-baik aja," lanjut Dareen.

Moanna mencoba mengatur napasnya dengan baik, "Dareen, aku mengakhiri hubungan kita berdua, bukan persahabatan kita. Kita bisa baik-baik aja. Aku cuma ingin jadi sahabat kamu, sama seperti sebelum kita menjalin hubungan yang lain. Kita bisa baik-baik aja, Dareen."

Dareen menggelengkan kepalanya, "Mo, aku nggak bisa. Aku menatap kamu udah beda. Udah bukan Moanna yang dulu, udah ada luka dan rasa kecewanya. Sekarang aku minta kamu keluar.

Sudah terlalu lama mereka terjebak dalam kebisuan yang menyakitkan. Setiap kata yang terucap belakangan justru menjadi bara yang semakin memanaskan suasana. Moanna tahu, semakin ia mencoba mendekat, semakin Dareen akan menjauh. Hubungan mereka telah berubah, tidak seperti dulu saat mereka tertawa bersama, saling berbagi mimpi, atau berbicara tentang hal-hal kecil yang mereka sukai—seperti teh hijau favorit mereka.

Dengan satu tatapan terakhir, Moanna berbalik meninggalkan Dareen. Meski hatinya penuh dengan rasa sedih dan penyesalan, Moanna tahu bahwa memberi ruang adalah langkah yang benar. Yang bisa ia lakukan adalah menunggu dan berharap suatu hari nanti, Dareen bisa menemukan jalan untuk memaafkan dan mungkin, suatu saat nanti, mereka bisa berbicara lagi dengan cara yang lebih baik.

Saat langkah Moanna hampir tidak terlihat, Dareen menahan napas, seolah berharap waktu bisa berhenti sejenak, bayangan Moanna kian samar. Dalam diam, Dareen akhirnya memalingkan pandangannya, dan perlahan, ia melihat ke arah punggung Moanna yang makin jauh. Tatapannya tidak lagi dingin seperti sebelumnya. Ada kerinduan yang terpendam dalam, namun bercampur dengan kekecewaan. Dareen terlihat sangat ingin memanggil Moanna. Namun, itu tertahan. Ia hanya bisa menatap punggung Moanna, berharap gadis itu akan berhenti, menoleh kembali, seperti dulu. Sebenarnya, ketika Moanna meminta untuk mengakhiri hubungan, Dareen tidak langsung menerimanya begitu saja. Tentu ada banyak hal yang ia korbankan, ada banyak perjuangan yang ia lalui untuk mempertahankan hubungan itu. Dareen tidak pernah menyerah dengan mudah. Ia mencoba untuk mempertahankan segalanya, meskipun terasa semakin sulit. Dareen ingat betul bagaimana ia selalu berusaha memahami Moanna, meski terkadang sikap gadis itu membuatnya bingung. Dareen berjuang mati-matian untuk membuat Moanna tetap di sisinya. Ia berusaha memahami segala perubahan, menahan rasa sakit setiap kali kata-kata tajam keluar dari mulut Moanna. Baginya, perpisahan bukanlah solusi.

Yang akhirnya membuat Dareen menyerah adalah ketika Moanna mengatakan sesuatu yang menghancurkan hatinya lebih dari apa pun: "Berhenti memperjuangkan aku, yang sama sekali nggak membutuhkan kamu, Dareen. Aku nggak pernah merasa bahagia saat bersama kamu."

Kalimat itu terus terngiang di telinga Dareen. Sungguh ia juga ingin kembali menjadi sahabat Moanna, tapi saat melihat wajah gadis itu, Dareen kembali merasakan sakit. Bagaimana bisa Dareen menjalani hari jika masih ada Moanna di dekatnya. Bukan hal yang mudah untuk Dareen. Mungkin bagi Dareen saat itu, tidak ada yang namanya putus baik-baik. Walau Moanna berharap mereka bisa berdamai, tanpa rasa sakit atau kebencian, bagi Dareen, kata-kata itu terdengar hampa. Bagaimana bisa ada perpisahan yang baik jika semua yang ia perjuangkan seolah tidak berarti?

"Maaf Moanna, mungkin nanti kita bisa baik-baik aja, atau tidak sama sekali. Aku pun nggak pernah tau, Moanna," ungkap Dareen hanya di dalam hatinya.

Pelangi Pekan Ini (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang