Suasana di lapangan basket sore itu terasa lengang, padahal biasanya penuh dengan tawa dan sorak-sorai. Hanya bunyi sepatu yang beradu dan pantulan bola basket yang terdengar, mengisi kekosongan yang ada. Dua tim sedang berjuang untuk menjadi pemenang. Usaha masing-masing terlihat dari keringat yang membasahi wajah mereka. Napas terengah-engah, konsentrasi penuh, dan ketegangan terasa di setiap sudut lapangan. Bola basket berpindah dari tangan ke tangan, seakan menentukan nasib akhir pertandingan. Setiap gerakan terasa penting, setiap langkah membawa mereka lebih dekat pada kemenangan atau kekalahan. Kedua tim tampak gigih, pantang menyerah. Keringat yang mengalir adalah tanda dedikasi mereka, tekad yang tidak akan mudah dipatahkan. Hingga permainan selesai, tim Dareen dan Abe keluar sebagai pemenang. Kedua pemain tampan itu saling berpelukan, wajah mereka dipenuhi kelegaan dan kegembiraan. Dareen mengangkat tangan Abe ke udara, seakan mempersembahkan kemenangan itu bukan hanya untuk mereka, tetapi untuk seluruh tim. Keringat masih mengalir di wajah mereka, namun senyum kepuasan tidak bisa disembunyikan.
Semua menghilang dari lapangan, meninggalkan Dareen. Suara riuh kemenangan perlahan meredup, digantikan oleh kesunyian yang menyelimuti tempat itu. Bola basket yang tadi dimainkan dengan penuh semangat, tergeletak di sudut, diam. Dareen menatap lapangan kosong di sekelilingnya, seolah merasakan kehampaan yang tiba-tiba menyelimuti. Kemenangan yang baru saja diraih, entah mengapa, tidak lagi terasa membanggakan. Di balik semua sorak-sorai tadi, ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang lebih berarti dari sekadar kemenangan di lapangan.
Moanna berdiri di salah satu sudut, memegang botol teh hijau di tangannya yang dingin karena udara sore. Jantungnya berdegup kencang saat matanya tertuju pada Dareen yang sedang duduk di pinggir lapangan, mengusap wajahnya dengan handuk kecil setelah latihan. Biasanya, Moanna akan berjalan santai dan memberikan minuman itu kepada Dareen. Tapi hari itu, segalanya terasa berbeda. Langkah Moanna terasa berat saat ia memutuskan untuk mendekat. Setiap langkah seolah disertai oleh beban perasaan yang sulit dijelaskan. Tangannya bergetar halus, memegang erat botol teh hijau itu—minuman yang dulu menjadi favorit Dareen, dan juga dirinya.
Menyadari bahwa Moanna mendekatinya, Dareen menatap ke arah lain, seolah tidak menerima kehadiran Moanna. Udara di antara mereka terasa tegang. Moanna berhenti sejenak, merasakan keengganan dari Dareen. Ia tidak pernah terbiasa dengan ketidakpedulian itu, apalagi dari seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. Namun, Moanna tahu bahwa itu adalah akibat dari keputusan yang diambilnya.
Dengan napas tertahan, Moanna memberanikan diri. "Dareen..." Suaranya hampir tenggelam dalam keraguan yang ia rasakan.
Dareen akhirnya menoleh, namun tatapan matanya dingin dan kaku, tidak ada tanda bahwa ia ingin melanjutkan percakapan. Tatapan Dareen, yang dulu penuh kehangatan dan perhatian, kini hanya menyisakan bayangan rasa kecewa. Moanna mencoba mencari sesuatu di dalamnya—harapan, atau setidaknya rasa pengertian.
Moanna mengulurkan botol teh hijau itu dengan tangan yang gemetar. "Ini... teh hijau kesukaan kamu, semoga dengan meminumnya, kamu merasa lebih bersemangat."
Dareen hanya menatap botol itu sejenak, lalu menggeleng pelan. "Aku udah nggak suka teh hijau," jawabnya dengan suara datar.
Moanna terdiam, botol teh hijau masih terulur di tangannya yang terasa kian dingin. Ia tidak tahu harus berkata apa, karena setiap kata yang ingin ia ucapkan tertahan di tenggorokan.
Dareen berdiri, mengalihkan pandangannya tanpa melihat Moanna lagi. "Aku harus pergi," katanya.
Moanna hanya bisa menatapnya pergi, meninggalkannya berdiri sendirian di pinggir lapangan, dengan botol teh hijau yang tidak lagi berarti apa-apa. Moanna masih berdiri terpaku, matanya tertuju pada pemandangan di seberang lapangan. Dari kejauhan, ia melihat Tara Anggita, sosok yang selalu mendapat perhatian di sekolah karena kecantikan dan ketenarannya. Tara terlihat menghampiri Dareen. Tara mengulurkan minuman segar, tersenyum manis seperti biasanya. Yang membuat Moanna tercekat adalah kenyataan bahwa Dareen, yang selama ini selalu menolak Tara, menerima minuman itu tanpa ragu. Moanna tahu Tara sudah lama menyukai Dareen, dan mungkin Dareen memberi kesempatan untuk hubungan barunya. Bagi Moanna, kenyataan itu menimbulkan rasa perih yang tidak bisa ia ungkapkan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak. Melihat Dareen bersama Tara, Moanna merasa semakin terpinggirkan. Setiap senyuman dan tawa yang mereka bagi seakan menjadi pengingat bahwa Dareen telah berubah dan mungkin sedang membuka lembaran baru tanpa dirinya.
Moanna ingat Dareen pernah berkata, "Nggak bakal ada perasaan seperti ini buat orang lain, hanya kamu, Mo." Kalimat itu terukir jelas, menjadi pengingat akan ikatan yang dulu begitu kuat di antara mereka. Namun kini, saat melihat Dareen bersama Tara, semua terasa seperti ilusi. Moanna bertanya-tanya, apakah semua yang mereka lalui bersama sudah benar-benar menjadi kenangan? Apakah perasaan itu benar-benar hilang, atau hanya tersimpan jauh di sudut hati Dareen? Rasa sakit menciptakan rasa cemas yang tidak berkesudahan. Seolah-olah setiap kenangan yang pernah mereka miliki benar-benar pudar. Sementara ia hanya bisa berdiri di sana, dengan botol teh hijau yang masih tergenggam, menyaksikan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan terjadi.
Moanna menatap teh hijau di depannya, warna hijau cerahnya seolah mengingatkannya pada momen-momen sederhana yang pernah ia bagi dengan Dareen. Aroma harum yang menyebar membuatnya teringat pada saat-saat di mana mereka duduk bersama, berbagi cerita sambil menikmati minuman itu. Teh hijau yang dulu menjadi simbol kedekatan mereka kini terasa seperti pengingat akan apa yang telah hilang. Ia menggenggam botol itu erat. Bayangan Dareen yang tertawa bersama Tara kembali menghantuinya. Moanna tahu bahwa minuman itu tidak lagi memiliki makna yang sama—tidak ada lagi Dareen yang akan menolak tawarannya atau mengucapkan terima kasih dengan senyuman hangat.
Saat Moanna masih terdiam dalam rasa sakit, tiba-tiba Abe muncul di sampingnya. Moanna berusaha memasang senyum, berharap bahwa kehadiran Abe akan membawa sesuatu yang baik. Abe, sahabat yang selalu peduli pada Dareen, berdiri tegak di hadapannya. "Mo, aku harap kamu nggak nyoba mendekati Dareen lagi," kata Abe dengan nada tegas. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa berat, tapi jelas. "Kamu tentu tau, Dareen udah cukup terluka, atas apa yang sudah kamu perbuat. Ciptakan jarak sejauh-jauhnya, Mo."
Moanna merasa dadanya semakin sesak. Ia ingin membela diri, ingin menjelaskan segalanya, tapi sulit untuk Moanna melakukan semua itu. Seperti ada sesuatu yang menguncinya. Abe masih marah, dan rasa pedulinya pada Dareen membuatnya tidak bisa memaafkan apa yang telah terjadi. Lagi-lagi Moanna terdiam. Seakan-akan setiap kata yang ingin diucap tertahan oleh rasa bersalah dan penyesalan yang terus menghantuinya. Moanna merasakan betapa beratnya jarak emosional yang terbentuk di antara mereka. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, beban itu semakin berat, menekannya kembali ke tempat di mana ia tidak mampu bergerak. Dan lagi-lagi, hanya diam yang menjadi pilihannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Pekan Ini (Selesai)
Teen FictionMoanna menyimpan sebuah rahasia yang bahkan tidak berani ia ungkapkan pada orang yang paling ia cintai. Rahasia yang perlahan-lahan mengikis kehidupannya, membuat Moanna terpaksa menjauh dari orang-orang terdekat, termasuk para sahabatnya. Mereka ti...