Sekolah, tentunya selalu menjadi tempat yang penuh dengan tawa riuh, percakapan yang tidak pernah usai, dan langkah-langkah kaki yang berlomba untuk mengejar waktu. Di setiap sudut, para siswa di SMA itu berbaur, bercanda, dan berbagi cerita. Suara tawa menggema, menciptakan suasana hangat yang menyelimuti seluruh sekolah. Beberapa kelompok duduk di tangga, sementara yang lain berlarian di halaman, memanfaatkan waktu sebelum bel berbunyi. Di kantin, aroma makanan menggoda tercium, dan antrean panjang terbentuk di depan loket. Para siswa saling berbagi makanan, menunjukkan keceriaan dalam kebersamaan. Di dekat jendela, sekelompok teman sedang membahas tugas sambil sesekali tersenyum dan bercanda, menghilangkan ketegangan belajar. Di lapangan, suasana semakin hidup. Siswa-siswa berkumpul untuk melakukan berbagai permainan—sekelompok bermain sepak bola, sementara yang lain terlibat dalam permainan basket. Sorak-sorai dan teriakan kegembiraan memenuhi udara. Beberapa siswa duduk di pinggir lapangan, menyaksikan permainan diselingi obrolan ringan. Mereka menikmati sinar matahari yang hangat, sambil menikmati berbagai camilan. Di ruang musik, suasana dipenuhi dengan melodi yang harmonis. Siswa berkumpul, masing-masing memainkan alat musik—gitar, keyboard, dan biola—menciptakan simfoni yang saling berpadu. Beberapa dari mereka bernyanyi, suaranya mengalun lembut, sementara yang lain asyik mencoba nada-nada baru. Dinding-dinding ruang musik dihiasi poster band dan penyanyi terkenal, memberikan semangat kreatif bagi para siswa. Di sudut, ada yang sedang berlatih untuk pertunjukan mendatang, saling memberi dukungan dan arahan. Di ruang guru, suasana terasa lebih tenang namun tetap hangat. Para guru berkumpul, berbincang sambil menikmati secangkir kopi atau teh. Beberapa dari mereka membahas rencana pelajaran, sementara yang lain berbagi cerita tentang pengalaman mengajar dan momen lucu di kelas. Tumpukan buku dan dokumen terletak rapi di meja. Dinding-dinding dipenuhi dengan poster pendidikan dan penghargaan yang pernah diraih oleh sekolah, mencerminkan dedikasi dan kerja keras para pendidik.
Di tengah keramaian itu, Moanna menjadi pengecualian. Ia berjalan perlahan di koridor yang dipenuhi siswa lainnya. Baginya, dunia terasa hening. Orang-orang lewat di sekitarnya tanpa benar-benar melihatnya. Di pojok halaman sekolah, Moanna duduk sendirian di bangku kayu yang sedikit usang. Suasana di sekelilingnya begitu kontras—orang-orang bersorak memanggil satu sama lain. Ia hanya bisa memperhatikan dari kejauhan, tapi tidak satu pun dari mereka mendekatinya. Senyuman mereka seolah menjadi pemandangan asing baginya, sesuatu yang dulu begitu akrab, namun kini seperti tidak terjangkau.
Suasana semakin riuh ketika lima sahabat Moanna melintas di hadapannya. Mereka saling berbagi cerita tanpa memperhatikan kehadiran Moanna. Ada satu sosok di antara mereka yang membuat Moanna merasa lebih terpukul—Dareen. Dareen, laki-laki yang pernah menjadi cahaya dalam kegelapan hidupnya, sosok yang pernah menyelamatkannya pada hujan-hujan yang membekukan di masa lalu. Ya, Dareen-lah orang itu. Moanna pun berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Dareen adalah seseorang yang dulu sangat dekat dengannya, seseorang yang mampu menghangatkan hatinya di tengah dinginnya malam. Kini, Dareen berjalan di hadapannya, tidak melihat ke arahnya. Rasanya seperti ada jarak yang tidak bisa dijembatani, walaupun mereka masih berada di dunia yang sama.
Ketika Dareen dan yang lainnya berlalu, Moanna merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya semakin menjauh. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap tawa yang mereka lepaskan, semakin menegaskan betapa jauh ia tertinggal.
Dareen pernah berkata bahwa ia akan selalu ada untuk Moanna, tapi hari itu Moanna sedang bersedih tanpanya. Hatinya terasa berat, ada beban yang tidak bisa diungkapkan. Ia mengingat semua momen ketika mereka tertawa bersama, namun kini, kesepian merayap ke dalam jiwanya. Moanna sadar akan kesalahannya, yang membuat Dareen jauh. Ia mengenang setiap kata yang terucap, setiap tindakan yang mungkin telah menyakiti Dareen. Setiap kali ia mengingat senyum Dareen yang menghilang, hatinya serasa tertusuk. Kadang ia menyesal. Tapi itu sudah pilihannya. Ia menyadari bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan rasa sakit yang ia rasakan adalah bagian dari perjalanan yang harus dilalui. Ada hal yang lebih besar daripada penyesalannya itu. Moanna tahu bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi ia bisa memilih untuk melangkah maju. Dalam benaknya, ia mengerti mengapa harus bertindak seperti itu.
Moanna menatap Dareen dari kejauhan, mengirimkan rindu yang terpendam dalam hatinya. Setiap detik yang berlalu, tatapannya seakan mengharapkan agar Dareen merasakan kehadirannya meski mereka terpisah oleh jarak. Masih dalam keramaian sekolah, semuanya menjadi kabur kecuali sosoknya yang sendiri di tengah kerumunan. Moanna merasa ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata—sebuah kerinduan yang begitu dalam, membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengingat momen-momen kecil yang pernah mereka lewati bersama, tawa yang menggema, dan perbincangan yang tidak berujung. Dengan setiap tatapan, ia berharap Dareen bisa merasakan gelombang perasaan yang bergetar di dalam dirinya, meski hanya sekejap. Tapi Dareen seperti tidak ingin melihatnya lagi.
Daun berjatuhan, menari lembut di udara sebelum akhirnya mendarat di tanah. Warna-warni daun yang gugur—kuning, oranye, dan cokelat—menghadirkan nuansa nostalgia, mengingatkan Moanna pada waktu-waktu yang berlalu. Setiap helai daun yang jatuh seolah menyimpan cerita tersendiri, kenangan yang terukir dalam ingatan. Moanna mengamati pemandangan itu sambil duduk di bawah sebuah pohon besar, merasakan angin sepoi-sepoi yang membelai wajahnya. Dalam keheningan, ia merenungkan semua yang terjadi, meresapi pelajaran yang telah ia ambil. Moanna merasakan kehangatan dan ketenangan saat angin berbisik di telinganya, seolah mengajak untuk melupakan sejenak segala beban yang ada. Moanna merasa seolah ada sesuatu yang terlepas—ketakutan, penyesalan, dan rasa sakit yang menumpuk.
Bel sekolah pun berbunyi, memecah keheningan dan mengalihkan perhatian semua siswa untuk kembali ke kelas. Suara riuh mulai menghilang satu per satu, menyisakan Moanna sendirian. Ia mengamati teman-temannya bergegas masuk, merasakan kesepian yang kembali menyelimuti hatinya. Setiap langkah yang diambil teman-temannya mengingatkannya pada jarak yang tercipta antara dirinya dan Dareen. Meski kerumunan di sekelilingnya, ia merasakan kesunyian yang dalam—seolah dunia di sekitarnya bergerak tanpa melibatkan dirinya. Moanna berdiri dan mengarahkan langkahnya menuju kelas. Meskipun kesedihan masih menyertai, ia berusaha untuk percaya bahwa ada harapan di ujung jalan.
Di kelas, Moanna menemui wajah Dareen yang tampak serius. Ketika matanya bertemu dengan Dareen, jantungnya berdebar. Senyum yang biasanya menghiasi wajah Dareen tergantikan dengan ekspresi yang sulit dibaca. Dareen seperti sudah berubah. Meskipun wajahnya tetap familiar. Moanna merasakan jarak yang lebih besar, Dareen membangun tembok pelindung di sekelilingnya. Momen-momen kecil yang dulu menjadi sumber kebahagiaan kini terasa sepi. Moanna merindukan tawa mereka, saat-saat di mana mereka bisa berbagi cerita tanpa rasa khawatir. Itu menyakitkan untuk Moanna, tapi sekali lagi ia teringat; itu adalah kesalahannya. Moanna menghela napas, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. "Dareen, maafkan aku," bisiknya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Pekan Ini (Selesai)
Teen FictionMoanna menyimpan sebuah rahasia yang bahkan tidak berani ia ungkapkan pada orang yang paling ia cintai. Rahasia yang perlahan-lahan mengikis kehidupannya, membuat Moanna terpaksa menjauh dari orang-orang terdekat, termasuk para sahabatnya. Mereka ti...