-Kelulusan dan Kesedihan: Menutup Bab Lama dengan Harapan Baru-

67 5 0
                                    


Hari kelulusan tiba dengan penuh perasaan campur aduk bagi seluruh siswa dan siswi. Di aula sekolah yang megah, deretan kursi telah tersusun, dihiasi dengan pita-pita dan bunga-bunga segar. Bendera-bendera kecil berwarna-warni berkibar di setiap sudut, seolah turut merayakan. Andini duduk tidak jauh dari Moanna, ia terlihat anggun seperti biasanya. Meskipun hubungan mereka sempat terasa tegang, momen kelulusan membawa rasa nostalgia.

Di atas panggung, Bu Syamila, guru bahasa yang selalu penuh perhatian, memberikan sambutan. "Hari ini adalah akhir dari satu bab dalam hidup kalian, anak-anak, tetapi juga awal dari petualangan baru. Kalian telah belajar banyak, bukan hanya tentang pelajaran di kelas, tetapi juga tentang kehidupan, tentang persahabatan, dan tentang diri kalian sendiri."

Setelah upacara kelulusan selesai, Moanna berdiri di luar aula, mengamati teman-temannya yang sibuk berfoto dan saling mengucapkan selamat. Senyum Moanna perlahan memudar saat ia memandangi teman-temannya yang berfoto bersama orang tua dan wali mereka. Gadis itu merasa sendirian. Benar-benar sendirian. Tidak ada orang tua atau wali yang hadir untuk menemaninya di hari penting itu. Ia berusaha menyembunyikan rasa sedihnya dengan senyum tipis, namun dalam hatinya ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Moanna mengingat ayahnya yang sudah lama pergi tanpa kabar. Sejak saat itu, ia harus belajar mandiri, bertahan hidup dengan uang beasiswa yang diterimanya setiap bulan. Di tengah kebahagiaan teman-temannya bersama keluarga mereka, Moanna merasa seolah-olah ada bagian hidupnya yang hilang. Gadis itu menatap ke lantai aula, berusaha menahan perasaan yang tiba-tiba muncul. Namun, di balik kesedihan itu, ia tahu dirinya telah kuat untuk bertahan, menjalani hidup tanpa kehadiran orang tua. Moanna menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan diri untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan, sambil tetap berharap suatu hari nanti, segalanya akan lebih baik.

Beno mendekati Moanna dengan langkah yang penuh keyakinan. Dengan senyuman lembut di wajahnya, ia menyerahkan rangkaian bunga mawar putih—bunga kesukaan Moanna. Bunga-bunga itu tampak segar dan bersih, melambangkan keindahan dan harapan.

"Buat kamu, Moanna. Selamat hari kelulusan dan selamat atas predikat lulusan terbaik tahun ini. Aku tau hari ini mungkin terasa berbeda bagi kamu," kata Beno.

"Mawar putih?" Moanna menerima pemberian Beno.

"Iya, sekali lagi, selamat ya, Moanna."

"Terima kasih, Beno," Moanna tersenyum tipis.

"Foto dulu, yuk. Sama yang lain juga," ajak Beno.

Moanna menggelengkan kepalanya.

"Yakin nggak mau? Emang kamu tau, kapan kita bakal ketemu lagi? Kamu jadi ke kampus impian kamu itu, kan?" Beno tersenyum.

Moanna tidak menjawab, ia hanya membalas senyuman Beno.

"Setelah ini, kita akan jauh, Mo. Hari ini masih ada, lebih baik kita gunakan kesempatan ini," kembali Beno meminta.

"Aku nggak bisa ada di dekat kalian lagi, Ben."

"Kenapa, siapa yang bilang?"

"Aku udah nggak pantas jadi sahabat kalian," Moanna menundukkan wajahnya.

"Kalau kamu merasa begitu karena apa yang sudah kamu lakukan ke Dareen, rasanya nggak pantas kalau aku dan kamu harus berjarak seperti ini, Mo. Terlepas dari apa masalah yang kamu dan Dareen alami, itu urusan kalian. Aku di luar itu. Kamu tetap sahabat aku, Mo. Sahabat yang paling baik. Andini, Daffa dan Abe cuma perlu waktu."

Moanna kembali terdiam, ia pun bingung untuk mengeluarkan kata-kata.

"Ya sudah, kalau kamu belum siap buat ketemu mereka, kita foto berdua aja, yuk," ajak Beno.

Moanna tersenyum kecil, merasakan kehangatan dari tawaran Beno. "Tentu saja," jawabnya.

Moanna dan Beno berdiri berdampingan di depan latar belakang yang dihias dengan bunga dan pita warna-warni. Kamera meng-klik beberapa kali, mengabadikan momen.

Dari kejauhan, Dareen melihat ke arah Moanna sambil berusaha menenangkan diri. Ia mengingat kenangan-kenangan lama tentang Moanna, tentang saat-saat mereka bersama, dan bagaimana hubungan mereka telah berubah seiring waktu. Ada kepedihan dalam dirinya yang sulit diungkapkan. Harusnya ada dirinya berdiri di antara Moanna dan Beno. Seperti saat kecil mereka mengambil foto bersama.

Dareen merasa terjepit antara keinginan untuk mengucapkan salam perpisahan dan rasa enggan yang menghantui dirinya. Di kepala Dareen hanya ada ucapan Moanna yang pedih di masa lalu dan terus terngiang. Betapa ia merasa ditinggalkan. Dareen tahu bahwa hari kelulusan adalah kesempatan terakhir untuk mengucapkan selamat tinggal dengan cara yang benar. Namun, setiap kali ia mencoba mendekati Moanna, rasa ragu dan ketidakpastian menghalangi langkahnya.

Di tengah keramaian, Moanna merasakan tatapan Dareen dari kejauhan. Ketika Moanna akhirnya menoleh ke arah Dareen, berharap ada kesempatan untuk berbicara atau setidaknya bertukar kata, ia melihat Dareen dengan cepat mengalihkan pandangan. Dareen tampak menghindar, seolah tidak ingin berinteraksi atau berhadapan langsung dengan Moanna.

Perasaan Moanna kembali campur aduk. Hatinya terasa berat melihat tindakan Dareen. Ia merasa terlukai. Moanna mencoba untuk tidak terlalu menunjukkan rasa sakit hatinya, meskipun tatapan Dareen itu meninggalkan bekas dalam pikirannya.

"Selamat hari kelulusan, Moanna," ucap Dareen hanya dalam hati. Kata-kata itu hanya bergema di dalam pikirannya, tidak akan keluar sebagai ucapan yang sebenarnya. Dareen meninggalkan aula tanpa menoleh kembali.

"Selamat hari kelulusan, Dareen," ucap Moanna. Matanya tetap tertuju pada sosok Dareen yang semakin jauh.

Acara hari itu pun selesai, dan satu per satu, orang-orang meninggalkan aula. Di sekelilingnya, jalan-jalan mulai sepi dan lampu-lampu jalan menambahkan sentuhan kehangatan pada malam yang dingin. Jejak kaki di tempat perpisahan mulai memudar, dan suara riuh keramaian perlahan menghilang, tetapi kenangannya abadi. Ternyata berpisah itu tidak mudah, berpisah itu akan menimbulkan rindu. Meski berat dan menyakitkan, setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang baru. Dalam setiap langkah menuju masa depan, akan ada pelajaran baru dan kebahagiaan baru.

Moanna tiba di rumahnya. Saat gadis itu memasuki rumahnya, suasana rumah terasa hening dan sepi, berbeda dengan kebisingan yang ada di sekolah. Di tengah keheningan itu, Moanna melihat sosok yang tidak pernah ia duga akan muncul—ayahnya, Aushaf, yang sudah lama hilang dari kehidupannya. Terkejut dan terharu, Moanna merasa air mata menggenang di matanya.

Tanpa berpikir panjang, Moanna berlari menghampiri ayahnya. "Ayaaaaah." teriaknya dengan suara yang dipenuhi harapan dan kebahagiaan. Gadis itu merentangkan tangan untuk memeluk.

Namun, reaksi Aushaf jauh dari yang ia harapkan. Aushaf mendorong Moanna dengan kasar. Moanna terjatuh ke lantai, rasa sakit fisik yang sejenak tidak ada artinya dibandingkan dengan rasa sakit emosional yang menusuk hatinya.

"Rumah ini akan aku jual," ucap Aushaf.

"Dijual?" Moanna bangkit dan mendekati ayahnya kembali.

"Aku perlu uang, kita akan bagi dua. Aku akan pergi jauh, dan kamu silakan gunakan uangnya untuk kehidupanmu. Jangan pernah menunggu aku datang lagi," lanjut Aushaf.

Moanna menggelengkan kepalanya. Sungguh, ia tidak ingin harta yang dimaksud oleh ayahnya itu. Ia hanya ingin hidup bersama ayahnya sekali lagi. Layaknya keluarga yang saling menguatkan. "Nggak, aku nggak mau. Aku mau terus sama Ayah," tubuh Moanna bergetar. Gadis itu menatap ayahnya dengan penuh harapan, berharap bisa mengubah keputusan sang Ayah.

"Moanna, aku sudah membuat keputusan," kata ayahnya dengan nada yang sulit dibantah. "Rumah ini sudah lama menjadi beban bagiku, dan aku berencana untuk menjualnya. Aku ingin pergi jauh dari kehidupan lama ini, mencari tempat baru untuk memulai segalanya dari awal."

Aushaf mulai mengumpulkan beberapa barangnya, dengan cepat dan tanpa banyak bicara. "Moanna, aku akan pergi sekarang. Kamu harus ingat bahwa dalam tiga hari ke depan, akan ada orang yang datang untuk membeli rumah ini."

Moanna merasa seperti seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Semua terasa seperti pukulan bertubi-tubi. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa melawan keputusan ayahnya. Dengan hati yang penuh kesedihan, Moanna hanya bisa mengangguk sebagai tanda bahwa ia akan mematuhi permintaan tersebut. Saat malam semakin larut dan Moanna mulai merapikan barang-barangnya, lagi-lagi ia harus menghadapi kenyataan dan melangkah maju, mencari cara untuk membangun kembali hidupnya.

Pelangi Pekan Ini (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang