Malam kembali menyapa, meski tanpa ditemani bintang-bintang malam itu. Dareen duduk di meja kamarnya, di dekat jendela sambil menikmati udara malam, dengan sebuah pena di tangan, jari-jarinya gemetar ringan saat kertas putih di depannya tetap kosong, menunggu. Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan. Namun, menyusun kata-kata terasa lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Itu bukan sekadar surat biasa. Itu adalah surat yang berisi seluruh perasaan yang ia simpan untuk Moanna.
Beberapa menit terdiam, Dareen mulai menulis. Kata-kata mengalir perlahan. Ia menulis tentang kenangan-kenangan indah mereka, tentang saat-saat yang mereka habiskan bersama, tentang canda tawa yang dulu begitu mudah hadir di antara mereka. Di setiap baris surat itu, ada rindu, ada marah, ada kecewa, ada cinta yang masih tersisa meski telah terluka. Dareen menulis bagaimana ia menyesal tidak bisa membuat Moanna bahagia, dan bagaimana ia berharap, di suatu waktu dan tempat yang berbeda, mereka bisa menemukan kebahagiaan bersama. Namun, ia juga tahu bahwa harapan itu hanyalah bayangan yang semakin menjauh.
"Belum ada yang lebih menyakitkan daripada perasaan kita, Moanna." Dareen menghentikan tulisannya.
Surat itu selesai, tapi rasa lega yang ia harapkan tidak datang. Sebaliknya, ada kesunyian yang menggantung, berat dan penuh makna. Surat itu tidak memiliki penerima. Tidak ada nama di bagian atasnya, karena ia tahu surat itu tidak akan pernah dikirim.
Dengan napas panjang, Dareen melipat surat itu dengan hati-hati, seolah-olah setiap lipatan membawa beban emosional yang tidak terlihat. Ia bangkit dan berjalan pelan menuju nakas di samping tempat tidurnya. Dengan gerakan lembut, ia membuka laci dan menyelipkan surat itu di sana, di antara hal-hal kecil yang hanya ia ketahui.
Dareen menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit yang kosong, namun di dalam pikirannya penuh dengan kenangan tentang Moanna. Bayangan gadis itu muncul dengan begitu jelas, mengingatkan Dareen pada masa-masa mereka masih bersama, saat dunia terasa lebih sederhana dan ringan.
Dareen tersenyum samar saat teringat kenangan masa kecil bersama Moanna. Sejak kecil, Moanna sudah pandai memasak, sesuatu yang selalu membuatnya terpesona. Setiap kali mereka bermain di rumah Moanna, ia akan menemukan Moanna di dapur, mengenakan apron berwarna merah jambu yang sedikit kebesaran, berdiri di depan kompor dengan senyuman manisnya.
"Dareen! Jangan diam aja dong. Ayo bantu aku!" serunya dengan suara ceria, menciptakan aroma lezat dari masakan yang sedang ia siapkan.
Dareen akan berlari masuk, ikut serta meski tidak begitu bisa membantu. Ia hanya bisa mengaduk-aduk bahan makanan sambil menyaksikan Moanna bekerja dengan percaya diri. Dalam pandangan Dareen, Moanna bagaikan seorang koki terhebat, dan setiap masakan yang dihasilkan terasa seperti karya seni.
"Jangan terlalu banyak garam!" Dareen sering mengingatkan, meski ia sendiri tidak tahu seberapa banyak yang seharusnya.
Namun, Moanna hanya tertawa, "Kamu nggak perlu khawatir, Dareen! Rasanya pasti enak!"
Dan, memang, setiap kali mereka selesai memasak, makanan itu selalu terasa lezat. Dareen menyadari bahwa keahlian memasak Moanna bukan hanya sekadar hobi. Itu adalah caranya untuk mengekspresikan perasaannya. Di dapur, Moanna bisa menciptakan kehangatan dan kebahagiaan, sesuatu yang selalu dirindukan Dareen setiap kali mereka terpisah.
Beno yang biasanya duduk di ruang tamu, mendengar suara Moanna dan segera bergabung. "Aku juga mau bantu!" ucapnya penuh semangat, meski ia lebih suka menikmati hasil masakan daripada ikut terlibat dalam prosesnya.
Di dapur itu, Beno dan Dareen sering berdebat tentang bahan-bahan mana yang lebih enak. Suatu ketika, Beno bersikeras menambahkan saus sambal ke dalam masakan, sementara Moanna menolak dengan tegas, "Beno, jangan kebanyakan, itu akan merusak rasa!"
Setelah menghabiskan waktu di dapur, aroma nasi goreng spesial yang mereka buat mulai memenuhi ruangan. Moanna, dengan senyum lebar di wajahnya, mengatur meja makan. Dareen dan Beno membantu menata piring dan alat makan, saling bercerita tentang keseruan memasak yang telah mereka lakukan.
"Kita harus foto makanan ini!" seru Beno, mengambil kamera kecil kesayangannya. "Ini adalah karya seni terbaik kita. Pokoknya, kita harus bersama selamanya, ya. Sampai tua kita akan seperti ini terus."
Moanna dan Dareen tertawa, menyetujui ide itu. Mereka duduk di sekitar meja, dengan nasi goreng berwarna cerah di tengah, dikelilingi oleh berbagai hidangan pelengkap yang juga mereka siapkan—telur dadar, acar, dan sambal goreng hasil karya Beno.
"Siap?" tanya Moanna sambil tersenyum, matanya berbinar penuh semangat.
"Siap!" jawab Dareen dan Beno secara bersamaan, tidak sabar untuk mencicipi masakan mereka.
Mereka mulai makan. Nasi goreng itu terasa seperti kombinasi sempurna. Beno segera berkomentar, "Moanna, ini enak banget! Harus sering-sering bikin gini."
"Benar! Rasanya enak," tambah Dareen.
Moanna merasa bangga mendengar pujian itu. "Aku senang kalian suka," ujarnya.
Mereka melanjutkan makan dengan penuh keceriaan, saling berbagi cerita. Suasana hangat dan penuh tawa. Aroma makanan yang masih menggoda menambah kesenangan dalam hati mereka. Moanna, Dareen, dan Beno bersandar pada kursi, gelak tawa dan canda menggema di ruangan yang dipenuhi cahaya hangat dari lampu gantung.
Seiring waktu berlalu, mereka menyadari bahwa makan bersama bukan hanya tentang makanan, tetapi tentang saling berbagi, tertawa, dan menciptakan kenangan. Suasana hangat itu menciptakan rasa nyaman, membuat mereka berharap waktu tidak akan berlalu, agar mereka bisa terus merasakan kebahagiaan lebih lama.
Dareen juga teringat saat mereka kecil, ketika Moanna dengan polosnya bercerita tentang mimpinya. "Aku ingin jadi tuan putri," kata Moanna dengan senyum manisnya, matanya berkilauan penuh harapan.
Waktu itu, Dareen menatapnya dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan. "Aku akan membuatmu jadi tuan putri yang bahagia," jawabnya dengan tegas, tanpa ragu. Janji itu sederhana, namun dalam hati Dareen, janji itu adalah sesuatu yang ia pegang teguh.
Bersama-sama, mereka tumbuh, saling mendukung dan menemani satu sama lain melalui suka dan duka. Dareen selalu berpikir bahwa, pada suatu saat, ia benar-benar akan bisa membuat Moanna seperti seorang putri. Meski hanya dalam hal-hal kecil—tawa bersama dan memastikan Moanna selalu merasa diperhatikan—Dareen yakin mimpinya untuk membuat gadis itu bahagia akan terwujud.
Bayangan Moanna sebagai "tuan putri" kecil yang penuh harapan terlintas di benak Dareen, tetapi itu hanyalah kenangan. Mimpi yang ia dan Moanna miliki bersama hanya tinggal serpihan, tersebar dalam ingatannya. Perpisahan itu menghancurkan semua harapan yang pernah ia bangun. Dareen merasa terjebak dalam rasa penyesalan, karena ia tidak pernah mampu memenuhi janjinya kepada Moanna. Ia ingin membuatnya bahagia, tapi Moanna sudah pergi, dan mimpi masa kecil mereka hanyalah bayangan yang tidak akan pernah terwujud.
Kadang ia menyesal, seharusnya ia tidak membiarkan Moanna pergi. Harapan-harapan yang dulu terbang tinggi kini terkulai tidak berdaya, seolah terjebak dalam kekosongan menyedihkan. Dareen merasa hidupnya kehilangan arah, dan meski ia mencoba untuk melanjutkan, selalu ada bagian dari dirinya yang merasa hilang.
Dareen mengingat, saat mereka berdua berjanji untuk menjelajahi dunia, membangun rumah kecil yang hangat, dan hidup bahagia selamanya. Mimpi-mimpi itu kini hanyalah bayangan, tertinggal dalam angan-angan yang tidak mungkin terwujud. Setiap kali ia menutup mata, gambaran itu muncul lagi—Moanna, di sampingnya, menggenggam tangannya erat, berbagi impian yang penuh warna. Namun, saat ia membuka mata, semua itu sirna, hanya tinggal rasa hampa yang menggerogoti hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Pekan Ini (Selesai)
Teen FictionMoanna menyimpan sebuah rahasia yang bahkan tidak berani ia ungkapkan pada orang yang paling ia cintai. Rahasia yang perlahan-lahan mengikis kehidupannya, membuat Moanna terpaksa menjauh dari orang-orang terdekat, termasuk para sahabatnya. Mereka ti...