Aku melipat dan memasukkan jaketku ke dalam tas ransel yang ada di depanku.
Selain jaket itu, ada beberapa barang lagi yang tersedia disana. Hmmm.
Tak banyak memang, tapi kali ini aku tak berniat untuk mendaki gunung yang luar biasa. Aku hanya berniat untuk mendaki Gunung Ungaran. Sebuah gunung yang tak terlalu tinggi dan entah sudah berapa kali kudaki.
Gunung yang mengajarkan aku tentang alam dan keindahannya.
Oiya, namaku Wanara, kawan-kawan memanggilku Nara.
Kalian jangan tertawa. Aku juga sebenarnya tak mau punya nama yang berarti kera. Tapi siapa yang bisa menolak? Orang tuaku yang memberikannya.
Saat ini aku masih duduk di kelas 2 SMA, sebuah SMA yang letaknya nggak jauh dari rumah. Rumah yang terletak di bawah kaki Gunung Ungaran. Jadi tiap hari aku dapat menikmati indahnya gunung yang malam ini akan kudaki itu.
Sekarang kalian tahu kan kenapa aku tak sebegitu kuatir atau tegang untuk mempersiapkan acara pendakianku saat ini?
Gunung Ungaran yang akan kudaki malam ini, sudah kuanggap halaman belakang rumahku.
=====
"Pasar Jimbaran kiri Mas," kataku memberi aba-aba kepada kernet bis yang aku naiki.
Tak berapa lama kemudian, aku sudah berjalan menyusuri jalanan sempit dan menanjak diantara rumah-rumah warga yang ada di desa Sidomukti. Aku memeriksa ke dalam saku samping ranselku.
Dua bungkus rokok kretek Dji Sam Soe, sebungkus rokok Jarum Super.
"Oke, persiapan lengkap," gumamku dalam hati sambil tertawa kecil.
Diantara semuanya, pengeluaran terbesar untukku saat mendaki gunung ya itu, rokok. Jarum Super kalau lelah dan kembali turun ke kotaku, Dji Sam Soe untuk nanti saat melawan dinginnya angin gunung malam hari.
Cukup. Tak perlu yang lain.
Nggak lah. Aku bercanda.
Tentu saja aku butuh yang lain. Tapi yang tak pernah tertinggal dan selalu benar-benar kusiapkan adalah pisau, kompas, air mineral, korek api, kotak P3K, dan makanan seadanya.
Makanan favoritku saat mendaki gunung? Rengginang.
Buakakakakaka.
Serius, aku tak bohong. Rengginang, punya kelebihan, enteng dibawa, kenyang juga.
Aku tak pernah bawa jajanan yang muluk-muluk atau merepotkan saat mendaki Gunung Ungaran. Kompor? Mie Instan? Roti? Hmmm. Terlalu mewah buatku.
Tak lama kemudian, aku sampai di pos pendakian Sidomukti.
Sekarang baru jam 3 sore. Banyak anak-anak muda yang terlihat berkumpul-kumpul di pos itu.
Beberapa kelompok pendaki gunung juga terlihat bergerombol tak jauh dari lokasi pos dan sedang asyik bercengkerama. Mungkin menunggu giliran mereka.
Aku tersenyum kecil dan menghembuskan asap rokokku dan dengan percaya diri mendekati pos pendakian.
Beberapa orang terlihat menunjukkan wajah tak suka, mungkin mereka berpikir aku ini orang udik kampungan yang tak bisa mengikuti antrian.
Tapi, sepuluh meter dari bangunan sederhana yang dijadikan pos pendaftaran pendaki di pinggiran desa Sidomukti ini, seorang remaja pria yang sedang asyik menulis di sebuah buku di depannya dan melayani pendaftaran para pendaki melambaikan tangannya ke arahku.
"Sini Bro!!" teriaknya.
Aku tersenyum dan berjalan ke arahnya.
Dengan cepat dia berdiri dan menyuruhku duduk di tempatnya.
"Rengit-rengit koyo asu.. Aku disuruh jaga disini nggak digantiin dari tadi, mulutku asem, bantuin bentar," kata si Alimin, petugas pendaftaran yang sudah kuanggap sahabatku itu, sama seperti banyak remaja lain yang nongkrong di luar sana.
Aku meletakkan ranselku dan duduk di tempat si Alimin tadi bertugas mendata para pendaki yang masih mengantri di depan pos ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
01. Gunung (End)
Horror(Horror) Jauh sebelum manusia merajai permukaan Bumi, ada segolongan mahluk lain yang menjadi penguasa di sini. Tuhan menciptakan dua mahluk yang mempunyai tugasnya masing-masing. Malaikat yang diciptakan dari cahaya dan Jin yang diciptakan dari api...