"Huft. Dasar!! Ngapain juga lewat sini?" aku cuma bisa mengeluh dalam hati.
Aku juga sebenarnya males banget mau ngikutin rombongan pendaki-wannabe tadi.
Bukan apa-apa, sombongnya lho minta ampun. Kalau bukan karena ada 'sesuatu' yang mengikuti mereka, mungkin aku akan membiarkan mereka begitu saja.
Tiba-tiba, sebuah sorot lampu senter yang terlihat bergerak kacau dengan arah yang tak beraturan terlihat turun dengan cepat dan menuju ke arahku.
Siapa?
Pasti dia berlari turun! Dasar ceroboh!
Dalam hitungan menit, aku bisa melihat sosok itu. Seorang pria dengan outfit khas pendaki gunung dan ransel besar di punggungnya terlihat menuju ke arahku dengan muka pucat pasi ketakutan.
"Mas!!!" teriakku memanggilnya.
Dan si Govlok itu, bukannya berhenti justru berteriak kencang saat melihatku berdiri tak jauh di depannya.
"Setannnnn!!!"
Setan matamu!!
"Mas!! Tenang Mas, lihat ni! Kakiku nginjek tanah kan?" kataku sambil menyenteri ke bawah.
Si Govlok dengan sedikit panik melirik ke arah kakiku dan menarik napas lega. Setelah itu dia setengah berlari ke arahku dan langsung terduduk di tanah saat berada di depanku.
Napasnya terengah-engah dan aku tersenyum.
Entah kenapa aku langsung teringat ikan koi waktu melihat wajahnya.
"Ni minum dulu," kataku sambil menyodorkan botol minuman kemasan ke arahnya.
Tanpa basi-basi, si Govlok langsung menyambut botol itu dan meneguknya hingga setengah botol.
Aku hanya tersenyum kecut. Habis deh jatah minumku.
Aku menunggu dia sedikit tenang dan sesekali menghembuskan asap rokokku dengan santai.
Si Govlok melirik ke arah rokok di tanganku dan terlihat agak ragu.
"Mau?" tanyaku sambil mengulurkan bungkus rokok Surya 16 yang kuambil dari saku bajuku.
"Uhukkk hukkk," Si Govlok terbatuk-batuk setelah dia mencoba mengisap rokok yang tadi kuberikan.
Aku hanya tertawa.
Setelah beberapa menit dia sudah agak tenang. Aku berjongkok di depannya dan mengulurkan tanganku.
"Wanara. Panggil aja Wawan," kataku.
"Eki," jawabnya pendek sambil menyambut uluran tanganku.
"Kenapa lari turun tadi?" tanyaku.
Wajah si Govlok yang bernama Eki ini berubah pucat saat aku menanyainya seperti itu. Dengan panik, dia menolehkan kepalanya ke belakang dan tubuhnya bergetar.
"Tenang. Tarik napas. Hisap rokoknya," kataku sambil tersenyum, berusaha menenangkan.
Eki menuruti saranku dan mencoba menikmati rokok di tangannya. Tapi aku tahu dia belum terbiasa. Pemuda metroseksual masa kini, mungkin dia ngevape dan bukan perokok.
Belum tahu dia nikmatnya yang asli mungkin.
Eki menarik napas dalam-dalam dan melihat ke arahku dengan muka yang masih sedikit pucat pasi.
"Kami... Kami... Ketemu setan," katanya dengan suara bergetar.
Aku tersenyum.
"Setan?" tanyaku santai.
"Iya," jawab Eki sambil menganggukkan kepalanya dengan cepat.
"Dia wanita, pake baju putih, rambutnya panjang, wajahnya menakutkan," cerocos Si Eki kemudian.
"Kuntilanak?" tanyaku.
"Hu um," jawab Eki sambil mengangguk-anggukan kepalanya dengan cepat.
"Mas rombongan kan tadi? Kawan-kawannya dimana?" tanyaku.
Muka Eki terlihat ragu-ragu, "Masih disana mungkin. Aku... Aku... Lari sendirian," jawabnya sambil menundukkan kepala.
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.
"Ayo kita naik dan nyamperin kawan-kawan Mas Eki," ajakku kemudian sambil berdiri dari jongkok.
Eki terlihat ragu dan takut.
"Nggak pa-pa. Sama aku kok," kataku menenangkan Eki.
Tak lama kemudian, kami berdua berjalan menaiki jalur di tengah-tengah hutan pinus ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
01. Gunung (End)
Horror(Horror) Jauh sebelum manusia merajai permukaan Bumi, ada segolongan mahluk lain yang menjadi penguasa di sini. Tuhan menciptakan dua mahluk yang mempunyai tugasnya masing-masing. Malaikat yang diciptakan dari cahaya dan Jin yang diciptakan dari api...