Part 6 - Pertama

2.1K 130 23
                                    

Tapi gara-gara topik yang dibuka oleh Dian tentang hantu, suasana api unggun mereka memang agak lain.

Mereka tak seriang tadi.

Dian juga merasakan dorongan dalam dirinya untuk selalu menoleh ke belakang.

Ke arah hutan pinus yang diselimuti kegelapan. Seperti ada yang memanggilnya disana.

Kawan-kawan Dian memperhatikan semua gerak gerik Dian sedari tadi.

Suasana juga makin lama makin hening. Jam menunjukkan pukul setengah 9 malam. Hanya tinggal beberapa tenda yang penghuninya masih aktif bercengkerama di depan tendanya masing-masing, sebagian yang lain sudah membenamkan tubuh mereka ke dalam tendanya yang hangat dan terlindung dari terpaan angin pegunungan yang dingin.

"Kamu dari tadi kenapa melirik ke arah hutan terus Yan?" tanya Dewi ke arah Dian.

"Nggak pa-pa Wi," jawab Dian pendek.

"Keknya kamu dah lelah Yan, tidur duluan aja di tenda," kata Dicky memberikan sarannya.

"Iya," jawab Dian pendek.

Dian lalu beranjak berdiri dan menuju ke tenda yang digunakan untuk tenda cewek.

Dian mengambil selimutnya dan membaringkan tubuhnya. Setelah itu, Dian berusaha memejamkan matanya. Dia ingin melupakan semua imajinasi yang mengganggu pikirannya dari tadi.

Setelah beberapa menit, Dian mulai merasakan kantuk melanda dan tersenyum kecil, bersiap untuk terbang ke alam mimpi.

Tapi.

Sebuah bayangan tiba-tiba terihat di luar tendanya dan tepat berdiri di depan Dian.

Awalnya, Dian tak merasakan apa pun, tapi saat dia memperhatikan silhouette yang membayang di dinding tenda yang terbuat dari parasut itu, darah Dian berdesir dan bulu kuduknya meremang.

Bayangan itu adalah milik seorang wanita yang berambut panjang sepinggang. Dia hanya berdiri diam dan terlihat sedang menatap ke arah Dian yang terbaring di dalam tenda.

Wanita yang sedang berdiri di luar tenda itu terlihat memakai gaun lebar  terusan dari atas badan hingga ke bagian kaki, meskipun Dian tak bisa melihat bagian kaki bawah si wanita.

Hidung Dian juga tiba-tiba mencium semerbak wangi melati yang masuk ke dalam tendanya.

Dian memejamkan matanya. Dia tahu kalau sosok yang berdiri di luar tendanya pastilah bukan Lisa atau Dewi. Rambut mereka tak sepanjang itu. Dan lagi, mereka tak memakai gaun terusan panjang. Mereka berdua memakai celana jeans dengan bagian atas jaket tebal untuk melawan dinginnya angin gunung.

Siapa dia?

Bukan.

Pertanyaan yang lebih tepat adalah, apakah dia? Manusia atau bukan?

Dian memejamkan matanya dengan tubuh gemetaran dan bulu kuduk yang merinding tak kunjung mereda.

Dia masih terus memejamkan matanya meskipun bau wangi melati itu tak kunjung hilang.

Setelah beberapa detik, Dian membuka matanya dan dia terperanjat kaget sekali. Sosok itu, bukannya menghilang atau pergi, tapi dia seolah-olah terlihat makin mendekat ke arah tenda.

Dian makin ketakutan.

Ketika dia melihat sosok itu mengangkat tangannya dan berusaha meraih tenda yang dia tempati, Dian berusaha sekuat tenaga untuk berteriak sekencang-kencangnya.

"Dewi!!!"

Beberapa detik kemudian, Dewi masuk ke dalam tenda dengan cepat.

"Apaan Yan?" tanya Dewi dengan raut muka kebingungan di mulut tenda yang dibuka dengan tangan kanannya.

Wajah Dian pucat ketakutan dan keringat terlihat membasahi wajahnya.

Air mata juga terlihat menggenang di pelupuk mata gadis itu dan membuat Dewi makin bertanya-tanya.

Dewi masuk ke dalam dengan wajah kuatir dan memeluk temannya.

Dian lalu menangis terisak-isak dalam pelukan sahabatnya itu.

Setelah isak tangis Dian mereda, Dewi membelai rambut Dian dan bertanya pelan.

"Kamu kenapa? Sudah nggak pa-pa, kan ada aku sekarang," bisik Dewi mencoba menenangkan Dian.

"Kamu nggak lihat tadi ada wanita berdiri di luar tenda?" tanya Dian dengan suara bergetar.

"Nggak ada," jawab Dewi pelan dan mantap.

"Tapi aku lihat Wi. Tadi ada yang berdiri di luar, rambutnya panjang sampai ke pinggang, dia juga pake gaun terusan panjang," kata Dian.

"Yan, nggak mungkin kan? Kamu tahu kita dimana kan sekarang? Mana ada yang pake gaun kek gitu di atas gunung sedingin ini?" tanya Dewi.

"Tapi..." Dian masih ingin memprotes kata-kata Dewi tapi menahan kata-katanya.

Semua yang dia alami barusan, memang terdengar muskil dan seperti khayalan semata.

"Wi, temeni aku disini ya?" pinta Dian pelan.

"Oke, my girl," jawab Dewi sambil tersenyum.

01. Gunung (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang