1

605 100 8
                                        

Jaejoong mengeratkan mantelnya sambil memasukkan kedua pergelangan tangannya ke saku. Jalannya cepat, namun tegak dan ekstra hati - hati dalam langkahnya mengingat serpih demi serpih kecil salju yang turun ke tanah bisa membuatnya terpeleset kapan saja. Menyusuri jalanan perumahan yang sepi ditemani temaram cahaya lampu yang berpendar disetiap sisi jalan.

Kakinya yang terus berjalan akhirnya berhenti di sebuah outlet kecil sepi di sudut jalan yang menjual jajanan jalanan atau street food khas Korea yang asapnya mengepul tebal ditengah bekunya udara tanggal 11 Februari.

"Sudah lama kau tidak kemari Jae, mau pesan apa?" Ungkap seorang wanita paruh baya yang bekerja di outlet tersebut. Tangannya tak beralih dari penggorengan yang penuh dengan twigim, begitu pula dengan sorot matanya.

Ah, ia pasti sudah bisa menebak pelanggan setianya.

"3 porsi komplit, Bibi Seo. Seperti biasa. Jangan lupa odengnya dipisah dari kuah."

Jaejoong mengambil posisi di kursi kedai. Meregangkan kaki sejenak sebelum pesanannya siap untuk dibawa pulang.

"Siapa yang dirumah bersama anak - anak?" Wanita yang dipanggilnya Bibi Seo tersebut bertanya. Biasanya jika Jaejoong kemari, suaminya sedang ada dirumah bersama anak - anak mereka.

Tapi Bibi Seo, dia tahu apa yang terjadi akhir - akhir ini. Jadi ia mengganti pertanyaannya dari menanyakan kepulangan suaminya, menjadi siapa-yang-dirumah-bersama-anak-mereka.

"Seho-hyung, Hyesung dan Austin datang berkunjung malam ini. Mereka yang bersama anak - anak sekarang. Lagi pula ini hanya 2 blok dari rumahku bi."

"Hyesung? Gadis yang rambutnya pendek itu?"

Jaejoong mengangguk. Pasti Bibi Seo tidak terlalu mengenal Hyesung, mengingat hanya Austin dan Seho yang sering makan disini.

"Lalu kenapa kau hanya pesan 3 porsi saja? Apa Changmin tidak makan? Biasanya anak tersebut selalu makan 2 porsi buatanku, apalagi ia sering minta tambah twigim dan cumi kering."

Jaejoong terkekeh. Sudah lama sekali ia tak melihat Changmin, putra pertamanya, makan banyak seperti dulu.

Sejak hari itu. Hari yang menjadi mimpi buruk bagi keluarganya, terutama bagi kedua anaknya yang mulai mengerti tentang posisi mereka dalam keluarga.

"Jae?" Sebuah suara yang sedikit meninggi menyadarkannya dari lamunan. Membuatnya gelagapan dan kaget.

"Aku sudah memanggilmu 4 kali ya Tuhan, jangan melamun begitu. Jika saat bekerja kau seperti itu, kau bisa celaka!" Ujar Bibi Seo sedikit gusar. Ia mengerti betul soal peran besar ketelitian dalam pekerjaannya.

"Apa ada masalah, Jae?" Tanyanya.

"Tidak bi, tidak." Jaejoong segera beranjak dari kursinya, mengambil bungkusan tteokpokki yang sudah disiapkan sang bibi. Membayar dengan selembar uang 10 ribu Won.

"Oh iya, katakan pada temanmu, Seho dan yang orang Amerika itu untuk membayar hutang mereka disini."

"Mereka berhutang disini? Memalukanku saja. Berapa hutang mereka bi?" Lelaki tersebut menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir teman - temannya tersebut berhutang di kedai langganannya.

"Mereka kesini Minggu malam lalu untuk minum - minum hingga jam 11 malam. Kurangnya 5000 won, kemarin Seho bilang kalau melupakan dompetnya di kantor."

"Baiklah aku akan memberitahu mereka. Aku hanya membawa uang pas malam ini."

Bibi Seo mengangguk, kemudian melanjutkan kegiatannya mengelap beberapa piring dan gelas milik kedai. Jaejoong melihat wanita yang hampir seumuran ibunya tersebut sendirian malam ini tanpa ditemani suaminya, Paman Seo, ia jadi sangat sibuk.

Jaejoong melangkah kembali ke rumah setelah mendapatkan pesanan untuk ketiga temannya yang berkunjung malam ini. Bahkan ketiganya berencana untuk menginap malam ini. Karena salju sudah mulai meleleh, ia memutuskan sedikit mempercepat perjalanannya. 

"Jae!"

Austin terlihat berlari tikungan dari arah jalan rumahnya hanya beberapa saat setelah suaranya yang keras memanggil namanya. Hei, ini hanya tinggal beberapa rumah lagi. Apakah mereka tidak bisa menunggu? Bagaimana jika tetangganya terganggu dengn teriakan teman jangkungnya tersebut?

"Ada apa, Tuan Kang? Kau terburu - buru sekali. Ini tinggal beberapa rumah saja, apakah Seho-hyung sudah benar - benar kelaparan sampai kau harus menyusulku begini?"

Austin menghela nafasnya berat. Ia memutar bola matanya jengah. Bisakah Jaejoong serius ketika ia melihat kawannya berlari dengan mimik wajah yang panik?

"Yunho, ia kembali Jae."

Mata Jaejoong menajam begitu mendengar nama yang baru saja disebut oleh rekan grupnya tersebut. Bahkan tanpa sadar satu tangannya mengepal kuat.

"Dimana dia sekarang? Dirumahku?"

"Hmmm, harus kukatakan... iya." Austin menjawab dengan takut - takut. Ia sungguh tak ingin masuk dalam urusan Jaejoong dan Yunho. Karena ia tahu, bagaimana sahabat kecilnya itu menyakiti Jaejoong setahun lalu.

Ini pasti akan sangat rumit.

.
.
.
.

Untuk yang belum tahu, National Intelligence Service (NIS) adalah salah satu intellegence agency atau badan intelijen dari Korea Selatan. Orang yang bekerja dibawah intelijen biasana disebut agen (agents)

Twigim : Gorengan asal Korea, biasanya isinya cumi, gimbap dan mie japchae yang digulung, ada juga yang mirip seperti bakso, dan beberapa sayuran.

Bon Voyage •  [YUNJAE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang