Sunrise at Bengkel

23 1 0
                                    


Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Aku bergegas mandi dan dandan. Semua perlengkapan perform sudah aku siapkan. Kostum, sepatu, aksesori, dan alat make up tersimpan rapi di tas ransel. Aku bergegas menuju UKM.

Sesampainya di sana, teman-teman yang tergabung dalam team management Rio sudah berkumpul. Mereka sedang mempersiapkan alat musik, transportasi, dan konsumsi yang akan dibawa saat kompetisi nanti. Tampak beberapa teman sedang bergerombol dan berdiskusi di pojok UKM. Mereka adalah supporter yang akan memberikan dukungan selama acara berlangsung. Aku memasuki ruangan UKM Musik. Mereka ada di sana. Anak-anak band itu sedang berhias dan mempersiapkan penampilan. Tampak Orion, Bian, dan Hilman sedang menata kostum mereka. Aku tidak melihat keberadaan Galih.

"Hei Mbak Vokalis, cepat ganti sana. Sudah jam berapa ini? Kamu enggak dandan dulu kah?" tanya Orion kepadaku.

"Iya, ini mau ganti. Galih mana?" tanyaku.

"Ada di belakang, masih ganti di UKM Pecinta Alam," jawab Bian sambil merapikan pakaiannya.

Aku bergegas menuju ke UKM Pecinta Alam. Waktu mau aku ketuk pintunya, Galih terlebih dahulu keluar dari ruangan. Dia tampak berbeda. Style cowok itu tidak sama seperti biasanya. Kemeja merah maroon, celana hitam, rompi jas hitam, dan sepatu resmi mengkilat berwarna hitam telah mengubah Galih(ku). Kombinasi yang manis ditambah dengan rambut gondrong terurai alami. Benar-benar rapi dan elegan. Sepertinya, dia sudah sangat siap untuk perform nanti malam.

"Wow ..." kataku singkat saat melihatnya.

"Kenapa, Mbi? Ada yang aneh dengan dandananku?" katanya sambil sedikit menggerakkan badannya ke kanan dan ke kiri.

"Cocok. Bagus banget, Mas." kataku dengan mata berbinar- binar.

"Ayo, cepat ganti. Aku pengin tahu kostum dadakanmu," katanya sambil mempersilahkanku masuk ke ruangan UKM Pecinta Alam.

Aku segera berganti kostum. Mencoba tampil sebaik-baiknya. Memasang aksesori gelang hitam di tangan kananku, menyisir rambut dengan rapi dan mengikatnya kuat-kuat menyerupai ekor kuda, dan mulai bermake up. Jujur, aku belum pernah make up sebelumnya.

Aku berdandan sebisanya. Menggunakan alas bedak, menutupinya dengan bedak putih, memainkan eye shadow di kelopak mata, menyapukan blush on di pipi kanan dan kiri bergantian, dan memoleskan lipstik

merah jambu ke bibirku.

Untuk sentuhan terakhir, aku pakai high heels berwarna hitam dan merah yang sengaja aku beli sepadan dengan kostum yang aku kenakan. Aku tidak begitu merasa percaya diri dengan dandananku. Aku takut terlalu berlebihan.

But, show must go on.

Saat pentas nanti aku tidak boleh demam panggung. Harus pede.

Aku buka pintu UKM Pecinta Alam, dan hendak bergegas ke UKM Musik untuk berkumpul bersama yang lain. Tapi, saat pintu terbuka, Galih sudah berdiri di sana dengan tangan terlipat dan ekspresi ingin tahu. Aku membeku di depan pintu. Galih pun terdiam sejenak. Terlihat dari raut mukanya, dia sedang menilai penampilanku sedetil mungkin. Mulai dari kostum, make up, sepatu, rambut dan aksesori. Dia mulai

mendekati dan membenahi kostumku.

"Ini kurang di tarik ke sini. Coba diberi pin warna merah di sini, pasti terlihat lebih bagus," katanya dengan kritis.

"Iya, ini ada pin warna merah kok, Mas."

Aku segera mengambil pin dari dalam tas, dan me- masangnya di tempat yang Galih sarankan.

HONEYWhere stories live. Discover now