For The First Time

50 2 0
                                    

Awal bulan Maret ditandai dengan hari yang teramat cerah. Aku melakukan rutinitas harian seperti biasa. Menyambangi kampus dengan perbekalan buku di dalam ransel kesayangan serta menenteng map berisi kertas hasil print tadi malam. Tak lupa berbekal sebotol air putih, aku berangkat dari kos menuju kampus dengan berjalan kaki.

Jarak antara kos dan kampusku memang tidak jauh. Cukup berjalan kaki, aku sudah sampai di kampus dalam waktu kurang dari 5 menit saja. Sebagai penyemangat pagi, aku susuri jalanan sambil mendengarkan musik lewat headset. Aku suka sekali musik dan bernyanyi. Musik adalah napas untukku. Tanpanya, hari-hari serasa sesak dan tak hidup.

Yeah, I love music.

Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa musik dengan status sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran. Hari-hari terasa begitu padat dengan kuliah rutin, kegiatan diskusi kelompok, praktikum, bahkan bakti sosial serta kegiatan di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Tiada waktu tanpa kesibukan belajar.

Terkadang sempat terlintas pikiran, betapa bahagia teman-teman dari fakultas lain. Mereka bisa menikmati weekend bersama keluarga dan teman dekat. Sedangkan aku, dan mungkin teman-teman sejawatku, akhir pekan dihabiskan di depan tumpukan buku dan lembaran diktat. Semua itu demi nilai bagus dalam ujian untuk mendongkrak IPK.

Jalan kami begitu panjang untuk mencapai gelar dokter. Sebuah profesi yang mengharuskan kami bertatap muka langsung dengan pasien untuk mendengarkan keluhan mereka, memeriksa, menegakkan diagnosa atas penyakit yang diderita, serta memberikan terapi pengobatan untuk menyembuhkan penyakit. Hal ini pun termuat dalam definisi tentang profesi dokter yang begitu panjang. Definisi yang sudah kami hapal di luar kepala, mengalir dalam semangat untuk terus belajar.

Secara operasional, dokter adalah seorang tenaga kesehatan yang menjadi tempat kontak pertama pasien untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan, usia dan jenis kelamin, sedini dan secepat mungkin, secara menyeluruh paripurna, berkesinambungan dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien, serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral.

Menjadi seorang dokter mestinya berdasar panggilan jiwa. Bukan karena keterpaksaan atau sekadar gengsi semata. Oleh karena itu, banyak pengorbanan yang harus dilakukan untuk bisa mencapainya. Salah satunya, apalagi kalau bukan merelakan akhir pekan berlalu begitu saja. Menghabiskannya dengan belajar, belajar, dan belajar.

Tapi, tidak seekstrim itu juga. Tak jarang, aku dan teman- teman mencuri waktu untuk senang-senang. Kalau dosen tiba-tiba membatalkan jadwal kuliah, aku dan teman-teman kadang nonton bareng, makan siang, atau ke mall untuk cuci mata saja. Refreshing setelah ujian pun kami sempatkan dengan karaoke bareng. Tak apalah walau dengan suara pas-pasan dan fals. Alhasil, akumulasi penat dan jenuh bisa hilang seketika.

Lamunanku buyar saat keramaian kampus menyapa panca indra. Aku pun larut dalam rutinitas kuliah kembali. Rutinitas kali ini agak sedikit berbeda dengan hari sebelumnya yang penuh dengan rutinitas kuliah, diskusi kelompok dan praktikum sampai menjelang sore hari. Setelah jam kuliah terakhir, ada rapat BEM Fakultas yang harus aku sambangi.

"Hei Mbi, tunggu. Bareng," sapa seseorang kepadaku.

Aku menengok ke arah sumber suara. Ternyata Okta yang memanggilku. Ia adalah salah satu teman terbaikku di kampus. Dengan berlari kecil, Okta menghampiriku.

Siapa yang tak kenal Okta? Cewek manis bertubuh agak tambun dengan segudang keceriaan, tawa, serta keramahannya. Okta adalah sosok cewek yang mudah bergaul. Ia juga pintar dalam bidang akademis, organisasi,

HONEYWhere stories live. Discover now