No More Pretending

14 0 0
                                    


Ah, aku tidak salah pilih. Pada bulan pertama saja, Bimo begitu gentle, bertanggung jawab, dan disiplin. Dia tidak pernah ingkar janji dan selalu tepat waktu. Dia sangat disiplin terhadap dirinya sendiri, terlebih pada pekerjaannya. Kalau boleh bilang, Bimo adalah laki-laki yang selama ini aku inginkan. Bimo juga sosok yang santun dan lembut. Dalam waktu yang singkat, dia mampu meluluhkan hati kedua orang tuaku bahkan hampir seluruh keluarga besar. Hubunganku yang sempat renggang dengan Papaku mulai menghangat. Papa tidak lagi melarangku untuk keluar, terlebih Bimo yang mengajakku. Papa tidak lagi melakukan sidak pada ponsel atau jejaring sosialku. Aku punya privasi lagi. Suasana kekeluargaan yang sesungguhnya terasa kembali di rumah.

Home sweet home.

"Kalau kalian memang sudah saling cocok, dimantapkan saja. Segera direncanakan mau bagaimana masa depan kalian," kata Mama di depan Bimo.

"Iya, Tante. Saya memang tidak main-main sama Rambi. Secepat mungkin akan kami bicarakan rencana ke depan," kata Bimo sambil menggenggam tanganku erat, sebagai tanda dia benar-benar serius.

"Tuh kan, lihat deh, kalian cocok banget," kata Mama memuji.

Ya, keadaan semakin membaik semenjak aku bersama Bimo. Aku tidak perlu berbohong, khawatir, atau sembunyi-sembunyi untuk bertemu kekasih. Kapan saja Bimo mau datang ke rumah untuk bertemu denganku, pintu rumah terbuka lebar untuknya. Akhir pekanku tak kelabu lagi. Aku punya waktu berkencan layaknya pasangan normal lain. Bimo selalu meluangkan akhir pekannya untukku. Akhir pekannya hanya untukku. Tidak terganggu oleh urusan pekerjaan ataupun keluarga. Dia benar-benar hanya untukku.

Aku bahagia sekarang. Segala hal yang aku inginkan telah menjadi kenyataan. Memang rasa cinta untuk Bimo belum sepenuhnya tumbuh. Tapi, melihat kebaikannya selama ini, dan dampak positif kehadirannya, membuatku benar-benar bahagia.

No more Galih. No more Honey Bee.

Bulan kedua bersama Bimo.

Keluargaku dan keluarga Bimo semakin akrab. Beberapa kali kami mengadakan acara keluarga bersama. Hubungan kami jadi semakin serius. Bukan hanya untuk sekadar pacaran, tapi kami mulai merencanakan masa depan berdua.

Bimo adalah seorang pekerja kantoran. Dia mempunyai jadwal kerja yang pasti. Berangkat di pagi hari, dan pulang di malam hari. Setelah sampai rumah, ia menyempatkan waktu untuk meneleponku sebagai bentuk menjaga komunikasi. Setelahnya, dia gunakan untuk istirahat. Begitu seterusnya. Tapi, Bimo selalu menemaniku ke mana pun aku pergi, ketika punya waktu luang. Dia semakin dekat dan banyak mengenal teman-teman sejawatku. Bimo sudah menjadi bagian dari hidupku. Di mana ada aku, pasti di situ ada Bimo. Begitu pula sebaliknya.

Hanya saja, hari-hari ini ada yang berbeda. Bimo hanya meluangkan Sabtunya saja untukku. Aku harus berbagi dengan keluarganya. Bimo adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga. Dialah tumpuan dalam keluarga. Kami sering berselisih paham tentang pembagian waktu tersebut. Hei, aku sudah bersabar dalam sepekan untuk tidak menganggu waktu kerjanya. Tapi, aku malah tersisihkan dengan keluarganya ketika akhir pekan datang.

Aku tahu, terlalu kekanak-kanakan kalau merasa cemburu waktunya lebih banyak ia habiskan bersama keluarganya.

"Kamu kenapa sih, Mbi? Kenapa jadi sering marah-marah sekarang? Apalagi kalau aku sedang bersama keluarga?"

"Aku enggak marah, Bim. Aku hanya heran saja, waktumu untukku sekarang jauh berkurang dibanding dulu saat awal kita jadian. Sekarang, weekend kamu habiskan bersama keluargamu, sedangkan aku?"

"Aku kan selalu intens hubungi kamu, selalu kasih kabar ke kamu. Apa itu masih belum cukup?"

"Kita tidak sedang long distance relationship, Bim. Kita masih berdekatan dan satu kota, tapi mau ketemu saja susah. Hubungan tidak hanya lewat SMS dan telepon, Bim. Kita juga butuh ketemuan."

HONEYWhere stories live. Discover now