Beberapa bulan berlalu. Skripsiku selesai tanpa kendala. Sidang skripsiku pun lancar. Hanya ada beberapa revisi ringan dalam penulisan skripsiku. Selebihnya, semua sukses dan aman. Dengan kata lain, akhir tahun ini aku akan diwisuda, dan mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran. Sayang sekali, tahun ini Galih tidak ikut wisuda. Banyak tugas dan mata kuliah yang belum dia selesaikan.
Setelah wisuda, aku segera masuk program profesi dokter umum. Ya, status kami adalah dokter muda alias DM. Aku tidak lagi datang ke kampus, karena program pendidikanku berlanjut di Rumah Sakit. Waktuku juga berkurang untuk Galih. Kami jarang bertemu walau masih tetap komunikasi. Beberapa kali aku sempatkan mengunjunginya di kampus, ketika kegiatanku selesai lebih awal. Kami menghabiskan waktu dengan sharing dan bercerita tentang kesibukan masing-masing.
Galih masih tetap seperti dulu. Susah bangun pagi, jarang kuliah, kebanyakan nongkrong, dan sering pulang malam. Ya, aku juga masih sering marah dan ngomel. Tapi karena sekarang kami jarang bertemu, frekuensi ngomelku pun berkurang.
Rasa jenuhku sungguh memuncak. Aku lelah dengan tingkah Galih yang begitu-begitu saja. Satu hari aku mulai ngomel dengan kebiasaannya yang masih malas-malasan dengan kuliahnya. Tak bisa dielakkan, kami beradu mulut untuk masalah yang sama.
"Mau sampai kapan Bee? Nunggu sampai umur berapa kamu baru mau berubah?"
"Ya, nanti pasti ada waktunya, Honey. Tapi, bukan sekarang."
"Kapan waktunya? Ingat umurmu. Ingat biaya yang kamu keluarkan. Ingat orang tuamu. Kamu adalah kebanggaan mereka."
"Yang punya umur kan aku. Yang keluarin biaya kan orang tuaku. Akunya santai saja, orang tua juga enggak protes. Kok, kamu yang bingung sih? Semua ada masanya. Aku masih ingin menikmati masa sebagai mahasiswa sekarang. Dinikmati saja prosesnya."
Perkataannya itu membuatku seakan tak berarti apa-apa dalam hidupnya. Aku hanya ingin dia berkembang, berhenti membuang waktu untuk segera menyelesaikan pendidikannya. Bukannya waktu semakin berlalu, umur bertambah, dan biaya tambah banyak yang dikeluarkan? Aku hanya ingin dia tidak bangga dengan hanya jalan di tempat tanpa ada niat untuk berubah. Tapi, sepertinya Galih tidak mengerti maksudku. Atau, mungkin caraku yang salah.
"Kita memang enggak sejalan, Bee. Semakin hari muncul banyak masalah. Banyak hal yang membuat kita berselisih paham. Kamu enggak ngerti maksudku. Aku cuma pengin kamu serius di pendidikan. Semakin cepat selesai, semakin bagus kan? Kamu jadi bisa segera mengembangkan sayap di bidang lain. Tapi, kalau masih ada tanggungan seperti ini, pasti yang lain juga ikut terbengkalai."
"Aku adalah aku. Kamu adalah kamu. Aku tidak bisa menjadi sepertimu, begitu juga sebaliknya. Kamu tidak bisa menjadi aku. Jangan paksakan keadaan, yang ada hanya akan menyakiti diri sendiri."
"Aku mempertahankan hubungan kita karena aku punya harapan yang besar terhadapmu. Aku yakin kamu bisa buktikan ke Papa kalau kamu tidak serendah dan sekecil yang Papa pikir. Bahkan hampir dua tahun ini, aku berbohong ke Papa dan Mamaku. Untuk siapa? Untuk kita. Honey Bee." Aku mulai terisak.
"Bukan untuk kita, tapi untuk dirimu sendiri. Jangan pernah merasa berkorban karena telah memilih hubungan ini. Aku enggak keberatan dan merasa kehilangan kalau malam itu menjadi saat terakhir kita. Nothing to lose."
"Iya, sekarang aku tahu. Yang merasa kehilangan, mencarimu kembali, melakukan perlawanan, meminta lebih darimu, semua itu adalah aku. Aku yang terlalu menggebu dengan hubungan ini. Seharusnya, aku tidak begitu karena akhirnya malah membuat sakit hati. Memang semestinya kita tidak bersama."
"Kalau itu memang yang terbaik, aku tidak akan mencegahmu."
"Kamu tidak akan pernah mencegah, merasa kehilangan pun tidak."
YOU ARE READING
HONEY
RomanceRambi memilih Bima demi kebahagiaan keluarga besarnya. Dia harus meninggalkan Galih dengan segurat kesedihan yang tidak terperi di hati Galih. Galih memohon bahkan menangis berharap Rambi kembali. Namun, Rambi telah menetapkan pilihannya untuk Galih...