Sekian lama tak pulang, Raka menjemputku untuk menghabiskan weekend di rumah. Dia menjemputku seusai jam kuliah berakhir.
"Banyak banget bawaanmu, Mbak? Kayak mau pindahan saja," kata Raka sembari mengangkat tas ranselku.
"Iya, itu isinya buku. Weekend sekalian nyicil bahan ujian," kataku sambil menuju mobil.
Selama perjalanan, aku bercerita banyak hal kepada Raka. Tentang keberhasilan acara Hari Bumi minggu lalu. Tentang persiapan semifinalku minggu depan. Dan, tentang status baruku dengan Galih.
"Sudah saatnya kamu kenalkan ke Papa dan Mama, Mbak," kata Raka menyarankan.
"Aku kurang yakin, Ka. Papa itu perfectionist. Kalau tahu Galih itu hanya mahasiswa Teknik Mesin yang belum punya pegangan hidup, Papa pasti enggak akan setuju."
"Enggak ada salahnya mencoba. Kamu sudah cukup umur untuk menentukan pilihan, kan?"
"Hmm.... Bagi Papa aku masih tetap gadis kecilnya. Sampai kapan pun pilihan itu ada di tangan Papa. Kalau Papa enggak setuju, jangan harap ada kesempatan untuk melanjutkan hubungan ini," kataku dengan raut muka sedih.
Aku teringat perkataan Papa saat masih semester awal. Aku dan Papa sedang makan malam bersama di salah satu restoran waktu itu. Kami saling bertukar pikiran, bercerita tentang pengalaman, dan berbagi saran.
Ya, Papa benar- benar sayang kepadaku. Beliau juga begitu protektif, karena dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepadaku. Dalam setiap kesempatan, Papa selalu mengontrol dan memonitor kuliahku, pergaulan, kegiatan, bahkan kebiasaan di kos. Papaku sungguh tidak ingin aku salah jalan.
Kami memang terlihat begitu kompak dengan Papa. Semua orang berkata demikian. Meski begitu, tak jarang kami berselisih paham dan prinsip. Banyak pemikiran Papa yang tidak sejalan denganku. Papa terlalu otoriter. Semua yang ada di hidupku harus sesuai dengan aturannya. Memang tidak ada batasan untuk mengungkapkan pendapat, tapi Papa punya kuasa menentukan keputusan final di akhir perdebatan. Jadinya, terbentuklah suatu pola pikir. Jika mau mencoba sesuatu yang baru, yang sekiranya enggak akan dapat izin dari Papa, tetap jalani. Ssttt, cuma enggak pakai bilang-bilang, alias backstreet.
Papa itu sangat mendukung pendidikan anak-anaknya. Apapun kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan, pasti Papa dukung, baik secara moril maupun materiil. Ya, enggak akan tanggung-tanggung, Papa bahkan bisa ikut turun langsung membantu anak-anaknya kalau ada kendala di pendidikannya. Sebaliknya, Papa orang yang paling apatis menanggapi hal-hal di luar pendidikan. Baginya, prestasi akademislah yang akan membawamu ke puncak kesuksesan. Sedangkan, kesibukan non-akademis hanya akan menghalangi kesuksesanmu di bidang akademis. Oleh sebab itu, aku dan Raka tidak bisa mengembangkan potensi di bidang yang lain. Seperti bernyanyi, bermusik, dan berorganisasi.
Ya, Papa bukan melarang, hanya sama sekali tidak akan mendukung. Bagi Papa, kesuksesan dan kebahagiaan adalah di kala kamu bisa memenuhi semua kebutuhan, baik primer, sekunder, maupun tersier, tanpa membebani orang lain dan itu berlangsung secara continue. Profesi yang dijadikan tolak ukur kesuksesan seseorang adalah ABRI, PNS, dan Dokter. Eitss, itu versi Papa.
Aku tahu dan menyadari, tidak ada satu pun orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Tidak ada satu pun orang tua yang ingin melihat anaknya tidak sukses. Semua orang tua ingin melihat anaknya bahagia. Happy ending ever after .
Tapi, cara mereka berbeda-beda, tolak ukur kebahagiaan pun berbeda-beda. Ada yang memberi kebebasan kepada anaknya untuk berkembang dalam bidang apa pun. Ada yang benar-benar mengekang dan membatasi gerak sang anak. Harapannya, anak tak salah jalan. Entah beruntung atau tidak, aku dan Raka termasuk anak-anak dengan orang tua yang mendidik dengan cara keras, otoriter, dan mengekang. Hmm, supaya tidak terkesan sadis, ada baiknya 'otoriter dan mengekang' diganti dengan kata 'protektif'. Ya, lumayanlah. Lebih terdengar, 'saking sayangnya orang tua terhadap anak makanya orang tuanya protektif'.
YOU ARE READING
HONEY
RomanceRambi memilih Bima demi kebahagiaan keluarga besarnya. Dia harus meninggalkan Galih dengan segurat kesedihan yang tidak terperi di hati Galih. Galih memohon bahkan menangis berharap Rambi kembali. Namun, Rambi telah menetapkan pilihannya untuk Galih...