Aku berangkat lebih awal karena ada jadwal kuliah pagi. Aku memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi untuk segera sampai kampus. Hatiku bergejolak pagi ini. Begitu besar inginku untuk bertemu dengan Galih setelah tiga bulan terpisah dan tanpa komunikasi. Setelah kuliah pertama usai, aku bergegas keluar dari ruang kuliah. Aku putuskan untuk tidak mengikuti kuliah kedua. Aku menghampiri Rei dan mencoba bicara dengannya.
"Rei, aku enggak ikut kuliah jam kedua," kataku terburu-buru.
"Kenapa, Mbi? Kamu mau ke mana?" tanya Rei penasaran dengan wajah khawatir.
"Aku pinjam motormu, Rei. Please," rengekku.
"Iya, tapi kamu mau ke mana?"
"Aku mau pergi ke rumah Galih. Aku harus ngomong sama dia, Rei. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Akan aku jelaskan kejadian malam itu kepada keluarganya. Aku tersiksa berbulan-bulan ini, Rei. Tiap malam aku enggak bisa tidur memikirkannya. Seakan masih ada tanggungan yang harus aku selesaikan," kataku sambil terisak.
Rei memelukku. Dia berusaha menenangkanku. "Hati-hati, Mbi. Jangan sampai salah langkah lagi," kata Rei sambil memberikan kunci motornya.
"Terima kasih, Rei. Ini kunci motorku, barangkali kamu mau pakai. Aku pinjam dulu, ya. Tidak lama kok. Sebelum diskusi kelompok nanti siang, aku pasti sudah kembali. Oh iya, sekalian aku pinjam helm dan jaketmu, ya."
"Kenapa tidak pakai punyamu sendiri?"
"Ini penyamaran, Rei. Aku tidak ingin Papaku tiba-tiba mengintai dan mendapati motorku tidak ada di kampus. Oke, Rei. Aku berangkat dulu."
"Take care, Mbi."
Aku berangkat ke rumah Galih dengan mengendarai motor, helm, dan jaket milik Rei. Masker pun menutupi sebagian mukaku agar tak mudah dikenali orang lain. Aku kendarai motor Rei dengan kecepatan tinggi supaya cepat sampai ke rumah Galih. Ya, Papa dulu pernah menunjukkan rumah Galih kepadaku. Meski belum pernah ke sana, namun aku masih ingat jalannya.
Sesampainya di depan gang sempit menuju rumah Galih, aku mematikan mesin motor dan bergegas turun. Rumah Galih tampak sama seperti pertama kali aku melihatnya bersama Papa. Dari pintu rumah yang terbuka, tampak Bapak dan Ibu Galih. Mereka melihat ke arahku, tapi tidak mengenaliku. Ya, aku benar-benar berbeda dengan dandanan dan motor yang aku gunakan.
"Assalamualaikum," sapaku kepada Bapak dan Ibu Galih.
"Waalaikumsalam. Siapa, ya?" tanya Ibu.
Aku membuka helm dan masker. Setelah menyadari bahwa itu adalah aku, Ibu langsung memelukku. Begitu juga Bapak. Beliau langsung menghampiri dan memelukku. Pertemuan itu terasa begitu haru. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku peluk erat Ibu dan Bapak sebagai tanda betapa diri ini sangat merindukan mereka.
"Mbak Honey kok bisa datang ke sini? Kok, tahu rumah kami?" tanya Ibu terisak.
"Saya pernah ke sini, Bu. Hanya melihat dari kejauhan saja."
"Bagaimana kabar Mbak Honey? Ibu tidak berhenti memikirkanmu, Nak," kata Ibu sambil menangis.
"Kabar saya baik, Bu. Bagaimana kabar Ibu dan keluarga?"
"Baik, Nak. Ayo, masuk dulu. Maaf ya, rumahnya kecil. Tidak ada tempat duduk."
Aku masuk ke rumah. Iya, kecil dan sempit. Tembok rumah terbuat dari separuh batu bata dan separuh papan kayu. Lantai rumah tidak berkeramik, hanya beralaskan semen halus saja. Aku duduk di atas tikar yang ada di depan televisi sambil menunggu Galih. Ibu memanggil Galih yang masih tidur di kamar. Tak lama kemudian Galih turun dengan ekspresi kaget dan heran, tidak menyangka akan kedatanganku.
YOU ARE READING
HONEY
RomanceRambi memilih Bima demi kebahagiaan keluarga besarnya. Dia harus meninggalkan Galih dengan segurat kesedihan yang tidak terperi di hati Galih. Galih memohon bahkan menangis berharap Rambi kembali. Namun, Rambi telah menetapkan pilihannya untuk Galih...