Pagi cerah di akhir pekan pertama bulan Maret. Ada yang berbeda menyapa pandanganku pagi ini. Meski berbeda, semua terasa akrab. Benda-benda yang tertata dalam ruangan tidak ada yang berkurang ataupun bertambah. Hanya tingkat ketebalan debu saja yang mulai bertambah, dan menggelitik hidungku. Maklum saja, aku memang tidak tahan dengan debu. Begitu banyak kenangan di sini, di kamarku, di rumah tercinta.
Setiap akhir pekan aku selalu pulang ke rumah. Pulang untuk berkumpul dengan keluarga, atau berdiam diri di kamar saja untuk belajar. Biasanya, Raka, adik laki-lakiku yang menjemputku di kosan setelah kuliah terakhir di hari Jumat.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, dan mulai mengubah posisi dari berbaring ke duduk. Aku menguap, tanda masih begitu besar rasa kantukku. Aku melihat jam. Pukul tujuh tepat. Ah, masih sangat pagi untuk bangun di akhir pekan seperti ini. Mendadak aku teringat apa yang telah membuatku bangun. Ada panggilan mesra baru saja.
"Mbi sayang, bangun yuk. Diajak sarapan bareng Papa dan Raka tuh," kata Mama sambil mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang.
"He'em, lima menit lagi, Ma," jawabku dengan malas-malasan. Mataku masih terasa berat untuk dibuka. Ranjang ini begitu nyaman, sampai-sampai aku enggan beranjak.
"Mama tunggu di ruang makan, ya," kata Mama lalu keluar dari kamarku.
Tidak ingin melewatkan sarapan, aku bergegas mandi dan berbenah. Di ruang makan Papa, Mama, dan adik lelakiku telah menunggu. Seperti biasa, masakan favorit buatan Mama menjadi menu sarapan pagi ini. Dan seperti biasa, sambil sarapan, kami saling berbagi cerita.
"Gimana kabar kuliahmu, Mbi?" tanya Papa memulai obrolan.
"Baik, Pa. Kuliah lancar-lancar saja. Ada ujian semester beberapa minggu lagi."
"Tetap fokus, ya. Kuliah Kedokteran itu enggak bisa main- main. Harus sungguh-sungguh. Karena, nantinya kamu langsung berhubungan dengan nyawa manusia. Kamu juga tahu kan kalau biayanya enggak kecil," kata Papa datar sambil menatapku.
"Iya, Pa," kataku singkat tidak banyak berkomentar.
"Kalau kamu Raka? Gimana kuliahmu?" tanya Papa ke Raka.
"Lancar, Pa. Sekarang, aku ikut dalam kepanitiaan English Speech Competition. Pesertanya anak SMA dan SMP se-Surabaya. Jadi, mungkin mulai minggu depan Raka bakal sering pulang agak malam, Pa," jelas Raka.
Papa tidak banyak berkomentar, hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"Oh, iya, Pa. Rambi juga kepilih jadi ketua pelaksana Hari Bumi se-Dunia. Acaranya tanggal 24 April. Rambi juga izin mungkin beberapa weekend ke depan Rambi enggak pulang. Rambi stay di kos," jelasku.
"Iya, enggak apa-apa. Yang penting kalian berdua tetap jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan. Dan, Papa harap dengan kesibukan itu enggak membuat kalian melalaikan kuliah. Pendidikan tetap prioritas. Kalau kegiatan organisasi sampai mengganggu kuliah, Papa enggak akan memberi izin lagi," kata Papa sambil melihat ke arahku dan Raka bergantian.
"Iya Pa, tenang saja," kata Raka sambil senyum-senyum.
"Oh iya Pa, kemarin Rambi diminta jadi vokalis band Universitas. Ada kompetisi band tingkat Jawa-Bali. Boleh ya, Pa? Rambi pengin ikut," kataku mencoba meminta izin Papa.
Papa mengerutkan dahinya. Sepertinya, beliau kurang setuju.
"Vokalis? Vokalis apa? Memangnya dengan menjadi vokalis, IPK kamu bisa nambah? Pendidikan doktermu bisa dipercepat?" tanya Papa bertubi-tubi.
"Hmm, ya enggak sih, Pa. Tapi, kan Rambi juga pengin bisa aktif di bidang non-akademis. Janji deh enggak akan ganggu kuliah," kataku merayu.
"Enggak usah lah. Buat apa sibuk di bidang lain kalau akademismu saja masih belum bisa kamu taklukan? Buat apa ikut-ikut nge-band? Band itu identik dengan minum- minuman keras, narkoba, dan tawuran. Enggak usah ikut- ikutan kayak begituan. Papa enggak suka anak Papa ikut-ikut kegiatan begitu," kata Papa menutup pembicaraan. Beliau dengan cepat beranjak dari kursi makan, lalu menuju teras rumah dan mulai membaca koran.
YOU ARE READING
HONEY
RomansaRambi memilih Bima demi kebahagiaan keluarga besarnya. Dia harus meninggalkan Galih dengan segurat kesedihan yang tidak terperi di hati Galih. Galih memohon bahkan menangis berharap Rambi kembali. Namun, Rambi telah menetapkan pilihannya untuk Galih...