CHAPTER 2 : At a very beginning

107 31 4
                                    

Aku terbangun keesokan harinya di atas ranjang ternyaman yang pernah kutiduri. Jenis ranjang dengan dipan yang bukan terbuat dari besi berkarat yang berdecit-decit melainkan terbuat dari kayu, kasur tebal diletakan di atasnya lalu kasur tebal tersebut dipakaikan berlapis-lapis kain putih juga selimut tebal bermotif.

Kupijat keningku yang terasa sedikit pusing karena tertidur dengan kepala yang terikat kain semalaman. Kondisi ruangan saat itu masih gelap gulita dan samar-samar terdengar suara dengkuran remaja perempuan yang tertidur di sisiku.

Aku jadi teringat keadaan yang membuatku tidak nyaman semalam. Saat Tuan Anderson mengantarku ke kamar tidur, anak-anak di dalam kamar ini langsung berteriak dan berlari ke arah Tuan Anderson lalu memeluknya kuat-kuat. Mereka begitu berisik sehingga salah satu wanita dewasa yang menuntun kami menjadi marah dan menyuruh mereka naik kembali ke atas tempat tidur.

Saat itu aku dibawa menuju ranjang ini yang letaknya berada di tengah-tengah ruangan. Tuan Anderson menaikanku ke atas ranjang dan membantuku melepas ikatan sepatu lalu menyuruhku untuk berisitrahat dan memejamkan mata karena dia begitu khawatir melihatku yang jarang tertidur dan sering merasa kedinginan saat kami berada diperjalanan.

Saat Tuan Anderson bersama orang-orang dewasa pergi meninggalkan kamar, aku berbaring dan mencoba untuk tidur dengan tubuh kaku karena dipelototi oleh mata gadis-gadis yang sekarang masih tertidur pulas sambil merapatkan selimut di ruangan gelap ini yang katanya adalah kamar tidur anak-anak perempuan.

Perlahan kukeluarkan kakiku dari dalam selimut dan segera berpakaian dengan sisa baju yang kemarin kutanggalkan dan kusampirkan di kepala ranjang, mencoba untuk menghiraukan rasa dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang lalu segera keluar dari ruangan yang gelap tersebut melalui pintu kayu yang dari sela-selanya tampak cahaya yang berpendar.

Setelah berhasil keluar, kususuri lorong-lorong yang masih minim pencahayaannya, mencoba mencari kamar mandi dan malah berakhir di pintu besar tempat aku masuk bersama Tuan Anderson kemarin malam.

Kudorong pintu tersebut tapi tidak bisa terbuka, menyerah setelah beberapa saat mencoba lalu kususuri kembali lorong-lorong panjang di arah lain dan malah menemukan lebih banyak lagi pintu besar tertutup yang membuatku semakin frustasi.

Tuhan aku tidak tahan mau buang air kecil! Tidak adakah pintu atau jendela yang terbuka disini? Dimana Tuan Anderson? Atau adakah siapapun yang sudah terbangun sekarang dan bisa menunjukan dimana letak kamar mandi disini?.

Sambil terus berjalan dengan penuh perjuangan dan kedua kaki yang dirapatkan demi menahan air seni agar tidak keluar, akhirnya aku pun sampai di ujung lorong yang terlihat mengeluarkan seberkas cahaya dan samar-samar kudengar juga ada suara orang yang tengah bercakap-cakap.

Dengan takut-takut kudorong pintu pada dinding di ujung lorong tersebut agar terbuka lebih lebar dan orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut sontak langsung menatapku secara bersamaan, mereka berhenti berlalu lalang dan melupakan pekerjaan di tangan mereka .

"Aku mau pipis, dimana kamar mandinya?."

Mereka saling melemparkan tatapan heran terhadap satu sama lain dengan pandangan aneh tapi aku tidak peduli, yang sekarang kuinginkan adalah supaya mereka menunjukan dimana letak kamar mandinya.

Mungkin mereka tidak paham.

Kutekan kedua tanganku di depan selangkangan dan membuat ekspresi wajah seakan memohon sambil berlari-lari kecil di tempat dengan perasaan panik, parahnya gerakan-gerakan tersebut malah membuatku semakin tidak tahan.

Salah satu dari mereka segera berdiri dan mendorong punggungku menuju pintu lain di ruangan itu yang setelah dibuka ternyata adalah kamar mandi.

Oh, tuhan terima kasih!.

letter P.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang