CHAPTER 7 : When the first time we met

76 16 6
                                    

———> Tekan Videonya sambil membaca untuk menambah feel/mood< ———-

————————————————————
Siang itu kuhabiskan waktu untuk membantu Hanah mengerjakan berbagai macam tugas di dapur, mulai dari mencuci piring, mengelap peralatan makan, dan teko-teko teh yang kupegang dengan tangan gemetaran karena takut memecahkannya, menyapu, memotong wortel.

Orang-orang dewasa banyak yang datang dan pergi selama aku melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, mereka mengobrol dan pura-pura sibuk sembari melirik ke arahku, dengan perasaan jengkel ku balas mereka dengan cara memperlihatkan ekspresi marahku sejelas mungkin.

Hanah sepertinya tahu sebentar lagi aku akan meledak, jadi dia menyuruhku memegangi keranjang besar dan membawa kamus, pulpen, dan penaku, lalu mengajakku berjalan keluar rumah melalui pintu di bagian belakang dapur yang menuju ke arah tempat dimana pakaian dan seprai-seprai di jemur.

Dia mulai menarik pakaian yang sudah kering satu persatu, meski masih merasa jengkel aku ikut menarik pakaian dan seprai yang terjangkau oleh tanganku lalu melemparnya ke dalam keranjang. Dia tersenyum sambil berjongkok lalu mengusap pelan pipiku dan entah kenapa aku tiba-tiba malah menjadi malu.

Saat kami hampir selesai aku mendengar suara gerobak ditarik dari halaman depan yang selanjutnya diikuti oleh kemunculan dua kuda yang masing-masing berwarna putih dan cokelat yang menarik gerobak besar dan nyaris menabrak keranjang cucian kami.

Di atasnya ada Ana yang tertawa-tawa dan dua orang anak perempuan lain yang langsung melambaikan tangan begitu melihat Hanah. Mereka memarkirkan kereta kuda di gubuk tua yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah dan berjalan ke arah kami beberapa lama kemudian.

Kedua anak atau lebih tepatnya kedua gadis remaja tersebut, segera masuk ke dalam rumah sambil membawa keranjang cucian kami setelah menyalami tangan Hanah. Ana kemudian mengusap kepalaku dan mengambil kamus, kertas, dan penanya yang tadi kuletakkan di lantai teras, kemudian menuliskan kalimat "Kerja bagus Maya". Aku hanya melengos dan bersandar ke pilar batu.

Dia menatapku keheranan dan berbicara pada Hanah, Hanah mengatakan sesuatu padanya, kemudian ia menulis sesuatu lagi di kertas lalu menyodorkannya padaku "Kau marah?".

Kugelengkan kepalaku dan dia memberikan isyarat sedih sambil pura-pura mengusap matanya.

Aku menanggukan kepala dan merebut kertas itu dari tangannya lalu menuliskan "aKU MaU Main SaMa HEnRi KEnapa dia dan BeRi PERgi BERSaMa ROUS". Ana membaca dan mengartikan tulisanku agak lama lalu terkekeh saat memahaminya.

Ia menuliskan kalimat lain untuk membalasnya "Mereka harus belajar, kamu tidak akan paham jadi aku kasih kamu tugas yang mudah". Aku menggeleng dan mengehentak-hentakan kaki karena merasa amat tersinggung.

Memangnya aku bodoh? Aku juga bisa belajar! Dasar Ana bodoh!.

Aku berjalan masuk, lebih tepatnya aku berlari dan tidak sengaja menabrak dua anak perempuan yang langsung menjerit, mereka tengah berkerumun dan ternyata Tuan Anderson ada bersama mereka, dia sudah pulang. Tanpa tedeng aling, aku pun segera berlari ke arahnya dan memeluk kakinya.

"Wow! Dari mana saja kau Maya? Aku mencarimu dari tadi," katanya sambil terhuyung-huyung, saat dia melihat wajahku diapun langsung berjongkok dengan eksperesi cemas. "Kenapa wajahmu seperti itu, Nak, apa yang terjadi?."

"Ana!," jeritku kesal. "Dia menganggapku bodoh! semua orang dewasa disini memisahkanku dari anak-anak lain! Aku bosan bekerja di dapur terus Tuan!," rengekku sambil menarik celananya yang berkain lembut.

letter P.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang