Prelude : The Night

1.1K 60 10
                                    

|

"Ketika waktu menyulitkanmu, benarkah menyerah adalah satu-satunya pilihan terbaik?"

|

Puja-puji terhadap Yang Maha Agung itu bukan sekadar sandiwara. Doa-doa yang membubung diyakini sampai pada langit teratas melalui asap dupa tanpa tahu wujud nyata dari Sang Pencipta. Pengharapan yang tanpa putus, memohon hidup makmur, juga limpahan kasih sayang yang dihantarkan melalui manusia-manusia lainnya. Sekiranya, begitu yang ia percayai sebelum takdir membolak-balikkan kehidupan seorang Park Jimin. Semesta seakan menolak hadirnya, Bumi mendepak eksistensinya dan tidak memberi tempat untuk ia bernapas dengan bebas. Hatinya kebas, tercerai-berai bagai kaca yang pecah. Ia sudah tidak bisa lagi mengumandangkan doa, tidak lagi mampu melangkah, bahkan untuk membuka mata saja Jimin sudah merasa payah.

Di hadapan kerlap-kerlip lampu kota Seoul yang mengagumkan, kaki-kakinya mengayun tanpa gentar di atas Jembatan Mapo. Tubuhnya terbalut pakaian hitam; dari ujung kaki hingga puncak kepala. Tudung jaketnya menyembunyikan wajahnya yang muram, tidak bercahaya bak lampu yang ia pandangi sekarang. Dalam hati ia berhitung, sudah mencapai angka dua ratus semenjak kedatangannya. Matanya masih terpaku pada riuh kota di depannya, lalu beralih menatap genangan air di bawah kakinya yang tampak tenang. Otaknya sedang berputar-putar, terjadi peperangan sengit antara akal sehat dan rasa lelahnya menghadapi semesta.

Ini adalah malam ketiga belasnya di mana ia menginginkan sebuah akhir dari segala rutinitas yang menyesakkan. Jimin merasa dirinya tidak lebih dari sekadar boneka usang yang masih dipaksa terlihat tampan di mata khalayak. Tidak boleh cacat. Ia adalah sumber uang bagi banyak orang, Jimin mengerti. Tetapi, Jimin jugalah seorang manusia biasa yang memiliki batas ketahanan. Hari ini ia kembali menemui titik kritisnya. Di tengah akalnya yang bekerja keras untuk menyadarkan, pemuda itu ingin bertindak egois dan mendekap hari-hari tenang yang selama ini ia dambakan; tanpa tekanan, tanpa pura-pura, tanpa paparan sorotan kamera, dan tanpa-tanpa lainnya yang membuatnya semakin ingin mengabaikan kemurahan hati Sang Pencipta karena sudah memberikan kesempatan untuk mencicipi poros kehidupan.

Sirine terdengar dari kejauhan, Jimin menyunggingkan senyum tipis ketika mendengarnya. Jari-jarinya yang memegang besi jembatan terlepas satu-satu. Jantungnya bertalu merasakan euforia menegangkan, anehnya, juga terasa berkali-kali lipat leganya.

"Jangan lakukan! Hei, Anak Muda!"

Sepersekian detik Sungai Han berdebur penuh gelora, teriakan beberapa orang yang melintas memecah malam yang sedang menampilkan rembulan begitu indah. Tetapi, Park Jimin sudah tidak peduli lagi. Ia menyerahkan diri dan menolak untuk kembali; tenggelam semakin dalam, pada buasnya air yang kian kelam, dan tubuhnya yang perlahan karam.

***

30/08/19.

The LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang