Ranjang rumah sakit itu masih menjadi objek menarik di mata Namjoon. Denyut jantung teratur dari kardiograf membuatnya lega, sekaligus takut di waktu yang bersamaan. Netranya tidak sanggup terangkat untuk menangkap presensi di atas brankar, yang tertidur tenang dengan mata terpejam erat. Namjoon beralih sibuk mengeratkan kedua tangannya, berharap semua yang terjadi hanyalah ilusi semata.
Terlalu banyak dan terlalu berat pundaknya menanggung kesedihan, pemikiran akan masa depan yang dirajut bersama enam orang pemuda seolah sirna pelan-pelan dalam benaknya. Kepergian Taehyung turut menjadi pukulan telak bagi Namjoon, menggores kepedihan pada relung hatinya yang paling dalam, dan merasa sakit hati pada takdir kendati ia sendiri tidak bisa menyalahkan pun berbuat banyak. Namjoon belum sempat memulai kariernya bersama Taehyung, belum sempat berkenalan dengan Jungkook si anak baru, belum sempat menjadi adik yang baik untuk Seokjin, belum sempat memahami Jimin yang beku dan dingin, dan rasanya ia masih belum bisa menjadikan dirinya teman baik untuk Hoseok. Namjoon masih memilki banyak misi yang seharusnya dijalankan bersama enam orang lainnya. Namjoon masih memiliki banyak keinginan untuk meraih mimpi bersama orang-orang yang satu visi dengannya. Tapi, kenapa? Belum sempat mewujudkannya, takdir lebih dulu mengambil segalanya. Namjoon merasa marah, tapi ia tidak tahu ke mana seharusnya kemarahan itu ia lampiaskan.
Pagi ini Namjoon terbangun dengan hati yang teramat berat, gelisah, linglung, dan hampa. Dorm teramat lengang dan Namjoon tidak suka. Suasananya sangat berduka, terlalu pekat untuknya yang sudah cukup merasakan sesak. Dalam situasi seperti ini, Namjoon tidak dapat mengandalkan siapa-siapa, alih-alih ialah yang harus dapat menggenggam tangan-tangan rapuh temannya yang tersisa. Bagi Namjoon itu adalah misi paling sulit. Bagaimana bisa ia merengkuh dan menjadi penopang di saat dirinya sendiri begitu kesusahan menegakkan kaki? Bagaimana bisa Namjoon memiliki keyakinan untuk bertahan kala luka mendatanginya tanpa henti? Kalau menyerah itu mudah, maka Namjoon akan melakukannya. Tetapi, Namjoon adalah calon seorang leader yang sadar akan tanggung jawabnya. Namjoon tidak dapat bersikap abai, tidak dengan membiarkan teman-temannya terperosok jatuh kian dalam.
"Namjoon-ah...,"
Suara lirih serupa embusan angin berhasil menarik atensi Namjoon. Heningnya kamar rawat membantu pemuda itu menangkap suara Seokjin dengan jelas. Senyuman Namjoon terbit untuk pertama kalinya semenjak hari kemarin. Tungkainya dibawa mendekat ke tepi ranjang rumah sakit dan menatap Seokjin yang masih mengerjapkan mata, menyesuaikan penglihatan setelah tidur sedikit lama.
"Hyung merasa lebih baik? Ada yang sakit?"
Seokjin menggeleng pelan, berusaha menarik lengkung bibirnya untuk berkata bahwa ia baik-baik saja. "Aku hanya tertidur setelah meminum obat sore kemarin, tidak menyangka kalau aku akan tidur selama ini. Jam berapa sekarang?"
"Pukul satu siang." Namjoon mendudukkan diri di sebuah kursi dekat ranjang Seokjin. "Orang tua hyung masih ke luar sebentar dan menitipkanmu padaku."
Dahi Seokjin mengerut, lalu berdecak. "Mereka seperti menitipkan anak kecil saja." Namjoon hanya terkekeh mendengarnya.
Kemudian hening, tidak lagi ada pertukaran suara di tengah udara, sama-sama terhanyut di dalam pemikiran yang tiada ujungnya. Namjoon melirik Seokjin yang tampak memandang langit-langit kamar, matanya menerawang jauh, berkelana entah ke mana dan meninggalkan raga tetap berpijak pada ruang. Seokjin terlihat sama kosongnya dengan Hoseok yang dilihatnya tadi pagi sebelum memutuskan ke rumah sakit.
"Namjoon-ah...," Namjoon bergumam sebagai respon panggilan Seokjin. Jantungnya berdebar, pemuda itu bahkan tak sanggup menatap kembali rupa sang kakak tertua. Namjoon justru berharap Seokjin tak pernah mengatakan apa-apa. "Kamu pasti sudah mendengarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last
FanfictionKetika waktu menyulitkanmu, benarkah menyerah adalah satu-satunya pilihan terbaik? Copyright 2019 by Aksara- Fanfiction BTS semi AU.