Sekolah tidak pernah menyenangkan. Jimin terlampau bosan dengan guru-gurunya yang tidak kreatif. Penjelasan mereka begitu monoton, tidak berhasil membuat atensinya tertarik. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Bangkunya berada di barisan belakang, membuatnya mudah untuk memerhatikan wajah-wajah lesu yang nampak memaksakan minat mendengarkan Pak Song menjelaskan sel-sel hewan di depan kelas.
Helaan napasnya terdengar sedikit berat. Ia mengantuk. Ingin kabur ke UKS, lalu tidur sampai jam pulang sekolah. Matanya mungkin sudah memerah karena terus-menerus menguap. Ia menegakkan buku pelajarannya yang memiliki tebal 300 halaman, lebarnya cukup menutupinya yang kini merebahkan kepala di atas meja. Semilir angin dari jendela-jendela yang terbuka membuainya. Jimin tidak tahan untuk terus membuka matanya.
"Jimin-ah, jangan tidur. Pak Song bisa mengeluarkanmu," bisik seseorang di sebelahnya. Ah, Jimin hampir lupa kalau mempunyai teman sebangku. Ia tidak pernah ingat nama gadis yang duduk di sebelahnya ini.
Masih dengan mata terpejam, Jimin bergumam, "Memang itu yang aku inginkan."
Benar saja, beberapa saat kemudian Jimin meringis kecil setelah penghapus papan melayang mengenai belakang kepalanya. Tanpa menunggu suruhan Pak Song, Jimin sudah lebih dulu membereskan alat-alat tulisnya. Dengan penuh percaya diri menyampirkan tas cokelat di pundak kirinya, lalu melangkah ke luar kelas diiringi berbagai tatapan teman-temannya, termasuk Taehyung yang menjadi teman kelasnya juga.
Sudah dibilang Jimin tidak pernah peduli. Bahkan, bila nanti Taehyung mengadu kepada orang-orang dorm tentang kejadian hari ini, Jimin akan tetap tutup telinga, menganggapnya seperti angin lalu tanpa repot-repot mengindahkan petuah Seokjin selaku kakak tertua dan Namjoon, calon pemimpin grup mereka.
Jimin berjalan menuju areal belakang sekolah, melewati lapangan basket yang cukup luas, dan jejeran kantin yang sepi karena belum waktunya istirahat. Ada tembok yang mengelilingi, mengantisipasi anak-anak berandal yang ingin kabur sewaktu mata pelajaran berlangsung. Namun, Jimin sudah terbiasa. Melempar tasnya melewati tembok, lalu mengangkat tubuhnya sendiri untuk naik ke atas pembatas itu. Temboknya tidak terlalu tinggi, mungkin ke depannya sekolahnya harus meninggikannya agar Jimin tidak bisa kabur lagi. Ah, tapi siapa yang peduli? Kalau ada yang bertanya, Jimin tinggal menjawab bahwa ia dikeluarkan dari kelas. Beres, sudah.
Jalanan tidak begitu padat. Masih terhitung pagi, matahari bahkan belum mencapai puncak kepalanya. Jimin melangkahkan kakinya di trotoar. Menghirup udara Seoul yang sejuk sembari memandangi siluet Gunung Bukhansan dari balik gedung-gedung megah. Pikirannya kembali terlempar pada kejadian tiga bulan yang lalu. Mengingat Syaira, rumahnya yang tak lagi bisa memberikan kehangatan. Bukhansan terletak di utara Sungai Han, sungai yang menghantarkan Syaira pada pertengahan hidup dan mati. Jantungnya tiba-tiba berdetak begitu hebat. Ia tidak bisa menampik rindu yang hinggap, namun keberadaannya juga membawa pedih yang meremukkan hatinya.
Seoul International Hospital terpampang besar di sudut seberang jalan. Jimin berdecak, lalu menertawakan dirinya yang mendadak menjadi lemah. Tangannya terkepal di sisi tubuh, memantapkan hati untuk berbalik pulang dan menepiskan niat untuk menyapa pujaan hatinya. Tetapi, Jimin menyerah. Pemuda itu memandang lampu penyeberangan dengan gelisah, mengangkat tangannya ketika lampu menunjukkan warna hijau, lalu berjalan sedikit tergesa-gesa. Jimin ingin menemui Syaira. Ia hanya ingin mengetahui keadaannya; tidak lebih.
Suasana rumah sakit juga tampak lengang. Hanya ada segelintir orang yang berlalu-lalang, perawat yang mendorong kursi roda seorang nenek renta, juga resepsionis yang memandangnya penuh tanya semenjak ia datang. Jimin membasahi bibirnya yang terasa kering. "Pasien atas nama Min Syaira, apa masih di ICU?" tanyanya. Tidak ada intonasi yang menggambarkan kecemasan, namun Jimin sadar bahwa jauh di lubuk hatinya ia merasa gugup.
"Apa kamu keluarga pasien?"
Jimin terdiam. Lalu, menjawab dengan suara pelan, "Aku... kekasihnya."
"Siapa namamu?"
"Park Jimin."
"Maaf, tapi keluarga pasien tidak memperbolehkan siapa pun menjenguknya." Kentara sekali resepsionis itu tidak enak hati menyampaikannya pada Jimin. Senyumnya kaku, binar matanya sendu. Mungkin, ia merasa prihatin dengan Jimin.
"Aku tidak akan masuk. Hanya melihatnya dari luar. Boleh, 'kan?"
Resepsionis itu menggeleng. "Maaf, Tuan Park tidak diperbolehkan masuk. Saya tidak bisa mempersilahkan kecuali ada izin dari keluarga pasien."
Seharusnya, Jimin tidak perlu merasa terlalu kecewa. Ia harusnya berbalik pergi dan menelan rasa penasarannya mentah-mentah. Namun, bibirnya berkhianat. "Bagaimana keadaannya? Tolong beritahu aku. Aku tidak bisa pulang tanpa tahu keadaannya."
"Maaf, mengatakan keadaan pasien tanpa izin juga melanggar kode etik rumah sakit. Aku tidak bisa membantumu, Tuan Park," kata resepsionis itu, lalu membungkuk pada Jimin.
Orang-orang yang menganggap Jimin adalah manusia jumawa, mungkin tidak pernah mencoba menelisik lebih dalam lagi. Manusia sejatinya terlahir sama, membawa perasaan yang rentan, dan tidak bisa lepas dari dahaga kasih sayang. Hanya saja, Jimin tumbuh dalam kukungan kecewa, kurangnya belas kasih dari orang-orang tercinta, dan minimnya penopang yang menyokong mimpinya. Maka, ketika bertemu Syaira yang dapat mencurahkan segala perhatian padanya, membuatnya semangat meraih impian menjadi idol, Jimin merasa gadis itu adalah satu-satunya yang dapat mengertinya. Jimin tidak memerlukan orang lain, ia hanya perlu Syaira seorang.
Kalau sudah begini, Jimin merasa separuh jiwanya hilang. Tidak lagi ada tempat untuknya beristirahat. Tidak lagi ada yang bisa menyejukkannya di kala badai mengeringkan kalbunya. Kini, Syaira bukan satu-satunya. Ia tidak memiliki siapa-siapa.
Jimin menatap nanar pintu ICU yang tertutup rapat. Tangannya menggenggam ponsel erat, hampir-hampir meremukkannya. Air matanya jatuh, tanpa isakan, tanpa raungan. Hatinya berubah kalut setelah mendapat pesan dari adiknya di Busan.
'Hyung, ibu dan ayah berdiskusi serius tadi malam. Mereka mungkin akan memaksamu pulang kalau sampai akhir tahun gagal debut dan mengirimmu ke rumah kakek di Jepang.'
[...]
06/09/19.
![](https://img.wattpad.com/cover/198952680-288-k858031.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last
FanficKetika waktu menyulitkanmu, benarkah menyerah adalah satu-satunya pilihan terbaik? Copyright 2019 by Aksara- Fanfiction BTS semi AU.