[9] Truth Untold

264 36 12
                                    

Taehyung mengabaikan Seokjin yang sejak tadi mencoba mengajaknya bicara. Pemuda itu berbaring di kasurnya sembari menyembunyikan badannya di bawah selimut, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia benar-benar enggan mendengarkan perkataan Seokjin, namun ia juga tidak bisa menghindar karena kakaknya itu sudah duduk di sampingnya.

"Taehyung-ah, hyung tahu ini berat bagimu. Tapi, kamu tahu sendiri Jimin pelan-pelan mau terbuka pada kita, 'kan? Sekarang kita tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Dia memiliki alasan mengapa bersikap begitu egois dan telah meminta maaf akan hal itu."

"Aku belum mendapatkan alasan dan permintaan maaf tentang malam itu, Hyung. Aku tidak bisa melihatnya tanpa setitik rasa benci," lirih Taehyung, meskipun suaranya sedikit teredam, Seokjin dapat dengan jelas menangkap setiap kata yang diutarakan adiknya.

"Taehyung-ah," Seokjin menyibak pelan selimut yang melingkupi tubuh Taehyung. Pemuda itu dapat melihat Taehyung yang memeluk lututnya sendiri, "mau hyung peluk?"

Tanpa persetujuan Taehyung, Seokjin memeluk tubuh Taehyung yang kini bergetar. Mereka berdua berbaring, Taehyung terisak di pelukan Seokjin yang begitu hangat, membuatnya ingin melampiaskan segala beban yang selama ini tersangkut di dadanya. "Mengapa kalian terlihat mudah sekali memaafkannya?" Taehyung mengembuskan napasnya pelan, mencoba meredakan isakannya.

Seokjin menepuk puncak kepala Taehyung, pemuda itu sangat mengerti mengapa Taehyung masih sangat susah untuk sekadar menatap Jimin. "Karena tidak ada yang salah, Taehyung-ah. Ini hanya menyangkut salah paham yang tidak pernah terselesaikan. Tapi, bukankah semesta baik sekali pada kita? Bahkan, manusia jenius tidak dapat memikirkannya dengan akal sehat."

Taehyung tertawa miris, mencebik kesal pada ucapan Seokjin yang terdengar begitu ringan di telinganya. "Baik kata hyung? Tidak. Semesta tidak pernah baik pada kita. Seokjin-hyung, aku benar-benar tidak bisa mengerti jalan pikiranmu."

Seokjin hanya tertawa kecil. Ia mengusak rambut Taehyung sebelum melepaskan pelukan mereka. "Tidak banyak yang bisa kita lakukan, hyung hanya ingin kita tidak lagi dilingkupi rasa benci dan penyesalan."

***

Namjoon dan Yoongi sudah pergi sejak dua jam yang lalu, tetapi Jimin tidak bisa duduk dengan tenang. Kini pemuda itu berada di kamar adiknya yang paling kecil, Jeon Jungkook yang sedang asyik bermain game di ponselnya. Jimin memandang Jungkook geli, adiknya itu sangat serius menatap layar ponselnya yang menampilkan grafik ular yang sedang memakan buah-buahan di sekitar tubuhnya. Padahal yang Jungkook mainkan bukanlah balap-balapan motor atau perang-perangan yang membutuhkan konsentrasi tinggi, tetapi bola mata pemuda terkecil itu tampak tidak berkedip selama permainan.

Mereka sudah tidak terlalu canggung, berterima kasih juga pada Jimin yang duluan mengajak Jungkook bicara sehingga pemuda itu tidak lagi takut ketika memandangnya. Jungkook anak yang sangat lucu, meskipun sangat pemalu, pemuda itu harus didekati lebih dulu agar dapat merasa nyaman dengan orang lain.

"Hyung, aku mengalahkanmu! Skorku mencapai 4500—Eh, mau ke mana, Hyung?" Jungkook menurunkan ponselnya dan menatap Jimin yang bersiap pergi dari kamarnya.

"Aku ke luar sebentar, mencari udara segar. Kamu lanjut saja bermainnya, Jungkook­-ah," kata Jimin sebelum benar-benar ke luar kamar Jungkook.

Jimin memasuki kamarnya sendiri untuk mengambil sweater biru tua yang tergantung di balik pintunya. Berjalan-jalan di pinggiran kota Seoul mungkin akan sedikit menenangkannya. Keadaan dorm cukup sepi, setengah jam yang lalu Hoseok dan Seokjin juga berpamitan untuk membeli sate domba sebagai menu makan siang, sampai sekarang mereka belum balik juga. Ketika melewati kamar Taehyung—tepatnya kamar Taehyung, Yoongi, dan Namjoon—Jimin berhenti sejenak. Pintunya tidak tertutup rapat sehingga pemuda itu dapat melihat Taehyung yang asyik menyusun balok-balok kayu kecil di atas lantai kamarnya. Jimin jadi berpikir lagi, apa benar yang di dalam itu adalah Taehyung yang suka menimpali kata-kata kasarnya? Pemuda itu terlihat seperti anak kecil.

The LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang