Interlude: Meet The Past | 2

298 29 9
                                    

"Namjoon-ah, mengonsumsi obat tidur dengan jumlah banyak itu buruk untuk tubuhmu."

Hoseok menyembulkan kepalanya dari ambang pintu kamar, tepat saat Namjoon baru akan menenggak dua butir pil putih di tangannya. Rambut Hoseok basah, ada handuk di genggamannya. Sedikit terkejut karena ketahuan, Namjoon tidak mengindahkan tatapan tajam Hoseok yang kini berjalan ke arahnya. Dua pil itu berhasil masuk dengan mulus ke dalam kerongkongan Namjoon.

"Kemarikan!"

"Tidak mau!" Namjoon menarik botol bening yang menyisakan tiga butir obat lagi di dalamnya dari tangan Hoseok. Dengan gerakan gesit pemuda itu menaruh botol obatnya di bawah bantal, lalu menidurinya. Namjoon memejamkan mata, menulikan pendengarannya dari suara Hoseok yang berceloteh mengenai pentingnya kesehatan.

"Seharusnya kamu berkaca, Hoseok." Namjoon berbicara dengan nada berat, kantuk benar-benar cepat mendatanginya. "Kamu yang memberikan obat itu padaku. Kamu juga mengonsumsinya. Jadi, aku tidak salah 'kan kalau ikut-ikutan?"

Hoseok berdecak. Kedua tangannya mendorong tubuh Namjoon untuk menyingkir dan lebih merapat ke dinding agar ia dapat rebah di sebelahnya. Tanpa pikir panjang, handuk biru muda di tangannya menampar wajah Namjoon, membuat pemuda yang hampir terbawa arus mimpi itu meringis perih. "Yak! Kena mataku!"

"Sengaja." Hoseok memposisikan badannya setengah duduk, menyandar pada sandaran kasur yang ditutupi tumpukan guling agar lebih empuk di tengkuknya. "Aku tidak mau kamu sepertiku. Apa yang akan dilakukan Bang PD kalau tahu calon leadernya kecanduan obat tidur? Kamu bisa overdosis kalau tidak bisa mengontrolnya."

Ada kekehan sarkas yang keluar dari bibir Namjoon. Hoseok mengernyit tidak suka menatap Namjoon yang masih terpejam. "Bagaimana kalau Bang PD tahu anak asuhnya pernah terkapar tiga kali di atas jembatan karena overdosis obat yang sama?"

Hoseok seharusnya membungkam mulutnya dari awal. Berdebat dengan Namjoon sama dengan mencari celakanya sendiri. Namjoon memegang rahasianya rapat-rapat. "Jangan dibahas, Namjoon. Pikirkan saja dirimu. Jangan sampai sepertiku."

"Aku bebas melakukan apa yang aku mau."

Hoseok menendang kaki Namjoon hingga untuk kedua kalinya pemuda itu meringis pilu. Hoseok kesal dengan Namjoon yang keras kepala, ia juga menyesal telah mengenalkan obat keparat itu pada temannya.

"Ya, lakukan apapun yang kamu mau, lalu bersiap didepak dari agensi sebelum debut," ucap Hoseok dengan sinis.

"Hoseok-ah, kamu bisa menggertakku, tetapi kenapa kamu tidak bisa menggertak dirimu sendiri?" Namjoon terduduk, hilang minat untuk tidur setelah mendengar perkataan Hoseok walaupun obat yang dikonsumsinya mulai bereaksi. Pemuda itu ikut menyandarkan badannya pada sandaran kasur, lalu menatap langit-langit kamar dengan penerangan redup. Kaki kanannya bertumpuk pada lutut kirinya.

"Kamu bisa menyuruhku untuk berhenti, kenapa kamu tidak bisa menghentikan dirimu sendiri?" lanjut Namjoon membuat Hoseok terdiam, tidak bisa menyahut. Bola matanya bergerak gelisah di dalam kelopak yang terpejam, mencari alibi agar Namjoon tidak berlanjut menanyainya macam-macam.

Embusan napas Namjoon terdengar berat dan panjang. "Waktu debut kita akan bergantung pada anak baru yang tidak jadi datang hari ini. Itu membuatku frustasi dan aku tahu bahwa kita semua juga merasakan hal yang sama. Rasanya, seperti segala usaha kita tidak pernah menemukan titik terang, Hoseok-ah. Tapi, bukankah menyerah sama dengan kalah? Maka, aku akan tetap berusaha. Kita akan tetap berusaha. Sialnya, aku masih manusia biasa. Tekanan itu masih bergumul, membuat dadaku sesak dan kepalaku pusing. Terima kasih pada obatmu yang bisa membawaku tidur nyenyak."

The LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang