"Kita harus membicarakan ini."
Suasana ruang tamu menjadi sangat hening dini hari itu. Sepulang dari Sungai Han, empat pemuda dibuat bertanya-tanya mengenai wajah Jimin yang sembab. Yoongi yang merangkul sebelah pundaknya tampak tidak biasa, ekspresinya juga tak terbaca. Hoseok mengisyaratkan mereka untuk tidak bertanya apa-apa. Namjoon yang saat itu baru bangun merasa bingung, sehingga sesampainya di dorm, pemuda itu tidak membiarkan teman-temannya pergi tidur. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi hanya melihat gerak-gerik Hoseok yang seakan ingin menyampaikan sesuatu.
"Orang tuaku akan datang besok untuk menjemputku. Mereka sudah tidak mau lagi menunggu." Jimin menundukkan kepala diiringi tatapan tanya dari empat pemuda yang masih merasa kebingungan.
"Kenapa mereka menjemputmu?" tanya Seokjin hati-hati. Melihat ekspresi Jimin yang tampak gusar dan sendu membuatnya takut akan melukai hati pemuda itu.
"Karena aku gagal, Hyung." Jimin memandang Seokjin dengan pandangan sayu. "Mereka tidak pernah mendukung cita-citaku dan sampai saat ini aku masih saja gagal debut. Mereka sudah tidak mau lagi menunggu dan akan mengirimku ke Jepang. Mereka akan menuntutku untuk menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Aku tidak mau."
Ruangan senyap. Taehyung yang awalnya tampak enggan dan segera ingin beranjak ke kamar kini atensinya penuh mengarah pada Jimin. Benarkah hal itu? Apakah masih ada orang tua yang mengekang cita-cita anaknya? Taehyung sibuk meladeni setiap tanya yang timbul di otaknya. Hatinya bergemuruh, tersentil rasa ngilu hanya dengan membayangkan jika orang tuanya juga tidak mendukung cita-citanya dan menuntutnya untuk melakukan sesuatu yang bukan keinginannya.
Namjoon meremat pundak Jimin, ingin menenangkan pemuda itu yang kentara sekali sedang gelisah. Matanya melirik anggotanya yang lain secara bergiliran, lalu menghela napas pelan. "Aku yang akan membicarakannya pada Bang PD dan membantumu untuk membicarakan hal ini dengan kedua orang tuamu."
Jimin menolehkan kepalanya dan menatap tepat di kedua mata Namjoon. Pemuda itu memandang pemimpin grup mereka dengan pandangan berharap dan Namjoon untuk pertama kalinya mendapati Jimin dengan ekspresi selelah itu. Mata cokelatnya seolah menyerukan pertolongan, Jimin berharap mereka tidak melepaskannya.
"Aku tahu kalian membenciku, tapi aku sama sekali tidak bisa meninggalkan cita-citaku," ungkap Jimin, jemari-jemari kecilnya memilin ujung bajunya. Ia merasa malu, rasanya tidak pantas ia mendapat bantuan apalagi memohon pertolongan kepada teman-teman grupnya setelah sikapnya yang tidak pernah bersahabat. Jimin hanya ingin mempertahankan posisinya dan menunjukkan bahwa ia bisa meraih impiannya sendirian, ia yakin dapat menunjukkan hal itu pada kedua orang tuanya. Tetapi, nyatanya Jimin lupa, ia tidak bisa bersinar seorang diri. Ia terlampau egois dan terlalu banyak orang yang mengumpatinya.
Seokjin yang berada di depan Jimin kini bertugas menangkan Jimin. Pemuda tertua itu menggenggam tangannya yang dingin, lalu tersenyum lembut seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Jimin bersyukur ia memiliki Seokjin. Seharusnya, ia bersyukur dari dulu karena memiliki enam pemuda yang mau bertahan dengannya sampai sejauh ini.
"Maafkan aku. Maaf karena sudah membuat kalian kerepotan dengan segala ulahku." Jimin tidak bisa mencegah air matanya sendiri, hingga pipinya kini basah walaupun tanpa isakan. Pemuda itu paling tidak suka menunjukkan kelemahannya di depan banyak orang, tetapi rasa bersalah dan penyesalan yang menghunjam dadanya membuatnya tidak sanggup lagi berpura-pura kuat.
Hoseok beranjak dari duduknya dan memeluk pemuda itu, disusul Seokjin, dan Jungkook yang entah sejak kapan ikut larut dalam tangisan. Namjoon mengusak rambut hitam legam Jimin, mencoba memberikan afeksi pada adik kecilnya yang telah berani untuk menurunkan egonya malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last
FanfictionKetika waktu menyulitkanmu, benarkah menyerah adalah satu-satunya pilihan terbaik? Copyright 2019 by Aksara- Fanfiction BTS semi AU.