[4] Kekalutan

257 39 10
                                    


Yoongi berbaring di atas kasur putihnya. Matanya lurus menatap langit-langit yang tampak lengang. Pikirannya sedang melayang ke berbagai tempat, menyusun serentetan kejadian, serta perkataan Jin padanya sehari yang lalu. Embusan napasnya kasar, Yoongi menegakkan tubuhnya dalam sekali hentakan. Pemuda itu melirik sebuah korek api yang teronggok di atas meja, lalu mengambilnya. Beberapa kali Yoongi memainkan korek itu, menatap nyalang api yang muncul. Hatinya berkobar, namun bisa meredup dalam sekejap mata. Perasaannya sedang dibawa arus laut yang deras, entah akan berlabuh, atau justru ikut tenggelam hingga dasar laut. Pikirannya terus terombang-ambing, melirik jam bundar di dinding kamarnya, lalu berganti menatap korek api, dan berganti lagi untuk menatap ponselnya yang berada tak jauh dari tubuhnya. Begitu seterusnya sampai pintu terketuk, memunculkan Seokjin yang menyapanya dengan senyum sayu.

"Jimin belum juga pulang, Yoon."

Mendengar nama Jimin disebut-sebut membuat sebagian diri Yoongi geram. Pemuda itu menatap Seokjin sebentar, lalu mengalihkan pandangannya menuju jendela kamar yang terbuka. Seokjin maklum. Mungkin ia adalah satu-satunya yang mengerti bagaimana Yoongi sedang berperang dengan batinnya sendiri. Maka, sebagai kakak tertua Seokjin mendekat untuk duduk di sebelah Yoongi, meremat pundak pemuda itu untuk memberikannya kekuatan. "Kamu tahu Jimin tidak bersalah, 'kan, Yoon?"

"Ya, tetapi Syaira tetap akan pergi."

"Berat, memang," ucap Seokjin menggantung. Matanya ikut menatap jendela yang kini mengembuskan angin hingga gordennya bergerak-gerak tidak tenang. "Tetapi, Yoon, takdir itu sudah menjadi milik kita, milik Syaira, milik Jimin, tidak ada yang bisa mengubahnya."

Yoongi berdecak. Ia menatap korek api di tangannya, lalu meremasnya dengan kuat. "Park Jimin itu memang bodoh sekali! Aku benar-benar ingin memusnahkannya setelah melihat dirinya kembali di ruang latihan."

Seokjin terkekeh. Ia merangkul pundak Yoongi dan matanya mulai menerawang. Bibirnya melengkung, menciptakan senyum getir. Sebuah kenyataan yang tidak bisa ia ubah menohok hatinya. "Tetapi, kita memiliki kesempatan. Untuk mencoba sekali lagi, untuk memperbaiki keadaan, sebelum kita benar-benar pergi."

Dering telepon Yoongi memekakkan telinga. Entah bagaimana, kedua tubuh pemuda itu menjadi tegang ketika didapati nomor rumah sakit tempat Syaira dirawat menghubunginya.

"Hyung, tolong cari Jimin. Bawa ia ke rumah sakit. Kali ini, aku akan memberikan kesempatan untuknya melihat Syaira, untuk yang terakhir kali," lirih Yoongi tanpa menjawab panggilan yang masuk.

***

Jimin kalut. Ia berlari amat kencang setelah menjawab panggilan Seokjin yang ke sekian dan mengabarkan bahwa keadaan Syaira memburuk. Pemuda itu masih menggunakan seragam sekolahnya karena menolak untuk pulang ke dorm. Untuk pertama kalinya ia membolos jadwal latihan karena perasaannya yang masih kacau semenjak larangan rumah sakit untuk menjenguk Syaira. Dan apa yang ia dapatkan malam ini? Seokjin meneleponnya, memberikan kabar yang kian membuat urat-urat kepalanya mengerat. Jimin takut. Takut sekali sampai air matanya mengalir deras di sepanjang perjalanannya menuju rumah sakit.

Ia menerobos memasuki pintu ICU, tidak peduli jika perawat meneriakinya dan menyeretnya ke luar. Jimin hanya ingin melihat Syaira. Gadis itu adalah prioritasnya saat ini.

"Di mana Syaira? Tolong! Katakan! Di mana?!" teriak Jimin membuat Seokjin yang tadinya menundukkan kepalanya menoleh.

Sejenak, pemuda itu tertegun. Jimin yang tertangkap lensanya saat ini tidak seperti Jimin yang ia temui pada hari-hari biasa. Jimin yang tampak kuat kini terlihat hancur, keangkuhannya merosot bersama luruh air mata yang tak pernah Seokjin sangka akan turun dari mata Jimin. Hati Seokjin terasa diremas oleh beribu-ribu tangan, dadanya sesak. Ada penyesalan yang hinggap ketika mengetahui Jimin juga tak kalah kacaunya dari Yoongi.

"Jimin, tenanglah—"

"MANA BISA AKU TENANG?!" sahut Jimin dengan suaranya yang menggema lantang. Wajahnya memerah, ada gurat-gurat pias yang tergambar samar akibat kekalutannya. "Hyung, di mana Yoongi hyung? Tolong beritahu dia agar membiarkanku masuk dan melihat Syaira! Aku memohon padamu, Hyung! Beritahu Yoongi hyung untuk tidak menahanku. Jebal." Jimin menangkupkan kedua tangannya di depan dada, menatap Seokjin dengan pandangan memelas.

Seokjin sampai tidak sanggup mencegah air matanya. Ia tersedak isaknya sendiri, lalu memeluk Jimin erat-erat. "Maafkan, Hyung. Tolong, maafkan, Hyung."

Di detik yang sama, dua orang perawat ke luar dari ruangan membawa sebuah brankar dengan seseorang yang telah tertutupi kain putih di seluruh tubuhnya. Jimin merasa detak jantungnya berhenti ketika melihat Yoongi yang juga turut ke luar dengan pandangan kosong.

"Andwae! ANDWAE!" jerit Jimin berontak dalam pelukan Seokjin.

Pemuda itu cepat-cepat menghampiri brankar. Dengan tangan gemetar membuka kain, lalu kelopak matanya benar-benar melebar. Wajah Syaira yang pucat membuat hati Jimin mencelos. Otaknya sudah tidak dapat berpikir jernih. Jari-jarinya menelusuri lekuk wajah pujaan hatinya yang sudah tak lagi bernyawa. Dunia Jimin benar-benar runtuh.

Semua itu tak luput dari mata Yoongi. Pemuda itu sama tertegunnya dengan Seokjin melihat keadaan Jimin yang benar-benar kacau. Penyesalan menggerayangi dadanya hingga sesak rasanya. Yoongi tidak pernah menangis, bahkan ketika Syaira mengembuskan napas terakhirnya di hadapannya, pemuda itu tetap tegar mengantarkan kepergian kakaknya. Tetapi, ketika menyadari ada seseorang yang juga menyayangi Syaira begitu dalam, sama-sama merasa kehilangan yang teramat sangat, dan Yoongi selama ini mencegahnya untuk menjenguk Syaira, membuat pemuda itu merasakan sesal. Ia tidak pernah tahu bahwa Jimin akan merasa sesakit itu.

"Noona, kembali, ya? Tolong, temani aku. Noona tahu aku tidak memiliki siapa-siapa, 'kan? Hanya noona yang mendukungku. Noona, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana setelah ini. Jebal, Noona!" Jimin semakin jatuh dalam isakannya. Ia memeluk tubuh dingin Syaira begitu erat. Mengucapkan doa berulang kali, berharap Tuhan akan mengembalikan Syaira untuknya. Sayangnya, bibir pucat gadis itu tetap bungkam, kelopaknya tidak pernah terbuka, dan jantungnya tetap sunyi tanpa detakan.

Tubuh Yoongi tergerak. Ia tidak tahan lagi hanya melihat Jimin yang berusaha membangunkan Syaira. Usaha pemuda itu begitu keras, sayangnya yang dikatakan Seokjin memang benar, tidak ada yang bisa mengubah takdir, termasuk membawa Syaira hidup lagi. Yoongi mengingat segala cerita Syaira mengenai Jimin yang selama ini yang hanya ia anggap angin lalu. Mengingat bagaimana Syaira memandang Jimin sebagai sosok yang begitu tegar di tengah-tengah perjuangannya menggapai cita-cita. Yoongi ingat, Syaira pernah memintanya untuk menjaga Jimin. Tetapi, Yoongi tidak pernah menghiraukannya. Hei, Jimin itu tidak perlu dibantu. Pemuda itu bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Namun, malam ini, semua pemikiran Yoongi sirna. Ia melihat sisi lain dari seorang Jimin yang angkuh. Ia melihat hati seorang Park Jimin bagai selembar kapas yang begitu rapuh.

"Yoongi hyung, tolong bujuk Syaira noona. Tolong aku," lirih Jimin ketika Yoongi memaksa Jimin untuk berhenti melakukan hal yang sia-sia. Para perawat menjauh, membawa tubuh Syaira menghilang dari pandangan.

"Maafkan hyung, Jimin. Aku tidak tahu Syaira begitu berarti bagimu. Tolong, maafkan aku."

Malam itu, tangisan menderas layaknya hujan yang turun membasahi kota Seoul. Yoongi tidak melepaskan Jimin dari pelukan, mengucapkan pengandaian yang ia sendiri tahu tidak akan bisa terwujud lagi. Seokjin tidak mengeluarkan suara, pemuda itu diam sembari menatap sendu dua tubuh yang sama-sama luruh oleh isakan. Semua pemandangan yang tertangkap matanya sungguh menyakitkan, namun Seokjin menyadari sesuatu yang mungkin bisa membuat keadaan mereka membaik.

"Kali ini hyung tidak akan membiarkanmu sendiri lagi. Tidak lagi, Jim," lirihnya. 


P.S

Aku sebenarnya nggak jago buat bikin cerita dengan hint-hint tersembunyi. Tetapi, apakah kalian dapat hint yang aku coba tebarkan di chapter ini? Atau kalian malah semakin bingung sebenarnya alur The Last ini gimana, sih? :'3


The LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang