[7] Dinding yang Mulai Luruh

276 42 9
                                    

Kincir raksasa di tengah-tengah Pasar Malam berputar dengan tempo pelan, dari jauh terlihat seperti bintang besar yang berkelap-kelip terang dengan berbagai warna. Ketika berada di posisi tertinggi, pemandangan kota Seoul begitu terpampang jelas. Hoseok bahkan tidak bisa mengedipkan matanya ketika melihat kembang api muncul di langit sebelah Utara.

Suasana riuh, ditambah suara Taehyung di sebelahnya yang berucap kagum tanpa henti, dan suara kamera Namjoon yang cukup menyita perhatiannya. Hoseok tersenyum, senang rasanya melihat dua temannya yang tampak begitu bahagia. Pemuda itu tidak ingat kapan mereka pernah berada dalam satu titik keakraban dalam definisi sebenarnya, yang benar-benar akrab, seperti Taehyung dan Namjoon yang kini saling melempar tawa, entah karena apa.

Matanya terlempar pada empat teman lainnya yang berada di sisi lain. Suasana di sana lebih tenang dan canggung. Hoseok tahu betapa kerasnya Seokjin berusaha mendekatkan diri pada Jimin, satu-satunya orang yang paling membentengi dirinya dengan anggota yang lain. Jimin bisa sangat keras dengan dirinya sendiri, ia tidak mau menerima perhatian apa pun, bahkan ambisinya sering kali memancing emosi Taehyung. Hoseok tidak mengerti, mengapa Jimin terlihat begitu egois, seakan-akan debut adalah mimpinya seorang diri, padahal ada enam pemuda lainnya yang mencitakan hal yang sama.

"Sepertinya sudah terlalu terlambat, ya?"

"Apanya yang terlambat?" Taehyung menatap Hoseok dengan pandangan bertanya, mendadak mengalihkan perhatiannya karena lirihan Hoseok yang terdengar jelas di telinganya.

"Kenapa?" sahut Namjoon yang sudah tak lagi sibuk mengabadikan foto.

Hoseok menatap kedua temannya secara bergantian. "Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, sekali pun kita diberikan kesempatan sekali lagi untuk mengubahnya."

Tidak ada yang menyahut. Antusiasme mereka sirna dengan pikiran mereka masing-masing.

***

Di sisi lain, Jimin memandangi pemandangan kota Seoul dalam diam. Ia tidak tahu bagaimana harus mengekspresikan perasaannya sekarang. Senang? Sedih? Emosinya bercampur menjadi satu sehingga Jimin memilih untuk meredam semuanya dalam keterdiaman.

Ponsel di saku jaketnya sesekali bergetar, membuatnya tanpa sadar menahan napas. Seberapa pun kerasnya Jimin mencoba tenang, gerak-gerik gelisahnya selalu berhasil tertangkap oleh mata Seokjin.

"Jimin-ah, apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

Jimin cukup terkejut dengan pertanyaan Seokjin, ia tidak menduga bahwa kakaknya itu akan menangkap gelagat tak nyamannya. Jungkook dan Yoongi kini bahkan fokus menatapnya.

Jimin mengalihkan pandangan, menolak untuk menatap mata salah satu di antaranya. "Tidak ada."

Seokjin sudah menebak respon Jimin di luar kepala, maka yang bisa ia lakukan hanya mengangguk, lalu tersenyum tipis. "Kamu tahu selalu bisa cerita pada hyung, 'kan?" ucapnya sembari menepuk pundak Jimin dan pemuda yang lebih muda darinya itu sama sekali tak memberi jawaban.

Yoongi yang duduk di seberang mereka menghela napas. Ia masih belum terbiasa melihat Jimin setelah kejadian di rumah sakit. Tidak semudah itu untuk menunjukkan afeksi pada seorang Park Jimin yang dulu tidak pernah ia pedulikan. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Kalau yang mengganggu pikiranmu adalah tentang Syaira, tolong segera dilupakan. Syaira sudah tenang. Syaira pergi juga bukan karenamu. Semuanya sudah terjadi, tidak ada gunanya kamu menyesali."

Masih tidak ada sahutan, pandangan Jimin tetap kosong. Jungkook yang sejak tadi kebingungan kakak-kakaknya sedang membicarakan apa memilih bungkam, biar dia menjadi pengamat sampai situasi menjelaskan dan ia dapat mengerti dengan sendirinya.

The LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang