Yoongi menghela napasnya begitu gedung yang tidak terlalu tinggi terlihat dari jarak kurang dari seratus meter tempatnya berdiri. Tulisan It Hit terpampang tidak terlalu besar di depan pintu masuk, terlihat usang, dan kusam. Ada sedikit sulur-sulur tumbuhan rambat yang menggantung di sisi-sisinya memperjelas bahwa plang tulisan itu sudah berumur cukup tua.
"Pertanda buruk?" tanya Namjoon yang ikut berhenti di samping Yoongi, ikut menelisik gedung di depan mereka dengan pandangan khawatir. Langit yang tiba-tiba menggelap ikut membuat hatinya ketar-ketir.
"Kurasa." Yoongi menjawab singkat, lalu melanjutkan langkah meskipun ada setitik rasa ragu di dalam dirinya.
Derit pintunya sedikit memekakan telinga. Alas kaki mereka menginjak lantai penuh debu, seperti gedung ini tidak pernah ada yang menghuni sebelumnya. Namjoon mencoba mencari saklar lampu di samping pintu masuk. Begitu dapat, ia menyalakannya, dan seisi ruangan tampak kosong tak ada tanda-tanda kehidupan.
"Apa kita harus pulang, Hyung? Aku punya firasat buruk." Namjoon memandang pepohonan di luar yang bergerak-gerak tak tenang. Angin berembus cukup kencang, membawa kerikil-kerikil di aspal terbang hingga terpelanting mengenai pintu agensi yang terbuat dari kaca. Ribut sekali, di kepala Namjoon bahkan sudah terproyeksi puting beliung akan memporak-porandakan seluruh tempat di Seoul.
Yoongi sama gusarnya dengan Namjoon, namun ia memilih diam dan mencoba berpikir dengan jernih. Ada satu prasangka yang hinggap di benaknya. "Namjoon, apa kamu pikir Jimin sudah tahu?"
"Tahu?" Pemuda berkulit sedikit tan itu mendadak menggigil. Rambut halus di sekujur badan Namjoon ikut berdiri hanya dengan memikirkannya saja. "Tidak mungkin, Hyung. Siapa yang mau memberitahunya kenyataan pahit itu? Dan lagi, kita ini berada di suatu situasi yang sulit. Jimin akan mengira kita gila."
"Segala kemungkinan bisa terjadi." Yoongi kini menatap Namjoon dengan serius. "Taehyung bisa menjadi orang yang memberitahu Jimin. Anak itu masih sangat membenci Jimin."
"Sial," desis Namjoon. Kalau sampai yang dikatakan Yoongi benar, Namjoon tahu jelas bahwa keadaannya telah menjadi sangat rumit. "Hyung, tunggu apalagi?! Kita harus kembali!"
"Tapi, orang tua Ji—" Yoongi tercekat, seakan baru mengingat sesuatu yang seharusnya tidak ia lupakan. "Ayo, cepat."
Yoongi bahkan berlari lebih dulu meninggalkan Namjoon. Untuk sesaat pemuda itu lupa kalau mereka hidup di dunia yang fana. Semua ini hanya tipuan yang dibuat takdir untuk mempertemukan lagi mereka-mereka yang terluka dan dituntut untuk menyelesaikan sesuatu yang seharusnya. Orang tua Jimin tidak akan datang. Mereka bukanlah bagian dari sesuatu yang lenyap; masih ada, belum tiada. Itu mengapa Jimin dilarang keras untuk tidak ikut bersama mereka.
Agar Jimin tidak mengetahui semuanya.
Agar Jimin tidak tahu bahwa dirinya berada di ambang batas kematian.
Agar mereka bisa membawa Jimin kembali tanpa harus menyinggung masa lalu yang kelam.
"Jungkook! Hyung!"
Begitu sampai di dorm, mereka melihat wajah menangis Jungkook dan Hoseok serta Jin dengan alis berkerut. Begitu melihat kehadiran Yoongi dan Namjoon, diam-diam mereka mengembuskan napas yang telah ditahannya.
"Apa ada yang terjadi?" Yoongi menghampiri Jungkook dan mengusap pundaknya untuk menenangkan isakan anak itu.
"Tadi Jimin-hyung dan Taehyung-hyung bertengkar. Aku tidak tahu apa yang mereka ributkan, tiba-tiba Tae-hyung menarik Jimin-hyung paksa dan pergi. Aku tidak berani menyusul mereka dan menunggu hyung pulang. Maafkan aku, Hyung," jelas Jungkook dengan suara pelan. Pemuda kecil itu merasa bersalah karena tidak bisa melerai kedua kakaknya, bahkan tadi ia ketakutan melihat ekspresi Jimin dan Taehyung yang tampak nyalang dan membentak satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last
FanfictionKetika waktu menyulitkanmu, benarkah menyerah adalah satu-satunya pilihan terbaik? Copyright 2019 by Aksara- Fanfiction BTS semi AU.