Bagian 2

2.8K 114 1
                                    

Setengah jam setelah adzan Isya, aroma indomie rebus merebak memenuhi ruang kerja Erin. Wahyu menghidangkan dua mangkuk penuh untuk mereka makan berdua.

Hmmm..memang tak ada yang lebih nikmat dari semangkuk mie lengkap dengan rawit dan telur setengah matang. Randi memilih makan nasi goreng langganannya sementara Roy dan Haris mencari makan diluar, biasanya mereka baru mulai lembur jam sebelas malam dan tidur serampangan setelah subuh.

Erin sendiri satu-satunya tenaga teknis perempuan dikantornya, dua perempuan lainnya bekerja sebagai tenaga administrasi yang jarang sekali ikut lembur dengan mereka. Penghujung triwulan pertama adalah masa sibuk, hampir semua tenaga teknis dikejar deadline, kantor pun hidup siang malam, seperti malam ini, malam kedua Erin nginap dikantor demi ekspose besok pagi.

Badannya sudah oyong, kepala bagai terbelah, dan mata serasa ingin melompat keluar, mungkin darahnya sudah menghitam karena bercampur sekian gelas kopi, ia harus bertahan hingga besok siang, setelahnya akan dihabiskan dengan tidur hingga pagi.

Sambil menyuap mie, Erin mengintip gawainya, 3 panggilan tak terjawab dan 34 pesan whatsapp, satu diantaranya dari Adit.

"Sudah berapa persen progresnya?"

"kamu sehatkan?"

"Sudah makan?"

"Jangan minum kopi!"

Ahhh...masih selusin lagi.

"Angkat telponnya Rin!, aku kekantormu sekarang!"

Erin terbelalak, ia menonaktifkan gawainya agar terhindar dari syetan yang terkutuk.

Belum habis mie dimangkuk Erin saat tiba-tiba Adit muncul dihadapannya dengan kaos oblong dan celana selutut, Wahyu sudah selesai makan, Randi pura-pura mengambil minum tapi seperti sengaja memberi ruang buat Adit dan Erin.

"Mie instan?" "Pesanku cuma di baca, sengaja?"

Erin diam, menyudahi makannya, dan menuju meja kerjanya, Adit mengekor.

"Mau tau kerjaku seperti apa? yang pasti tak seenak yang dipikirkan para pejabat, mereka pikir kami cuma menjual kertas, kami menjual otak!" gerutu Erin sengaja menyindir perlakuan Adit padanya selama ini.

Meja penuh kertas, coretan dimana-mana, jadwal deadline tergantung tak beraturan, gelas-gelas kopi, handuk, sepatu, "mengapa mereka jorok sekali? Apa tak ada waktu buat beberes?"batin Adit.

Erin kembali menghadap laptop, Adit berdiri disisi kanannya, mereka terlalu dekat, aroma tubuh laki-laki itu merasuk pernafasannya, Erin dapat mendengar detak jantung Adit, ah..entahlah, itu suara jantung Adit atau jantungnya, Erin tak karuan.

Mereka hanya bicara sedikit, fokus menghadap laptop, suaranya seperti tersangkut ditenggorokan, sesekali kedua mata bertumburan lalu kembali ke laptop. Berkali-kali Erin mengingatkan dirinya bahwa Adit sudah menikah, berkali-kali melafaz ta'awuz hingga ayat kursi seakan-akan sedang berhadapan dengan syetan, tapi hatinya malah berharap Adit merengkuh kepalanya dan tetap begitu sampai pagi.

Kali kedua Adit tak sengaja menyentuh jemari Erin karena berebut mouse, Erin tak dapat menahan gejolaknya lagi, ia permisi ke dapur, meraih segelas air putih dan meminumnya hingga tandas, mencoba menetralisir degup jantungnya yang berantakan, tangannya dingin. Oh cinta, tolong jangan datang sekarang.

"Pak, sudah malam, biar aku selesaikan ini bersama Randi dan Wahyu, pulanglah! Aku janji besok selesai sesuai harapan" tegas Erin setelah berhasil mengendalikan dirinya.

"Pak? Aku bukan Ayahmu"

"Terserah, apapun itu"

"Ngusir?"

"Ya!"

"Oke, besok datang lebih pagi!"

"Ya"

Erin memaksa Adit keluar dari kantor

"Jangan minum kopi lagi!"

"Tidak! Aku butuh satu gelas lagi, atau pekerjaan ini tidak selesai"

"Tidak ada kopi lagi!"

"Pilih mana, kopi atau pekerjaan tidak selesai?"

"Pilih kamu!"

"Apa?"

Erin menutup pintu dengan paksa, jantungnya berantakan lagi, ia tak ingin Adit melihat pipinya yang memerah".

High Quality Pelakor ( End )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang