Bagian. 14 ( Pulang )

2.2K 101 2
                                    

Plakkk
"Suami macam apa kamu?, bisa-bisanya 5 tahun berumah tangga sekarang kamu bilang gak cinta!"
Suara papa mertua Adit menggelegar. Adit mengusap pipinya yang nyeri bekas tamparan laki-laki yang sangat dihormatinya itu.

"Gak ada kata cerai! pertengkaran dalam rumah tangga itu biasa, jangan terlalu mudah menjatuhkan talak, kalian sudah dewasa!"
Kali ini nada suaranya agak melunak, tapi air mukanya masih tegang karena marah. Adit diam membatu.

"Riyan tahu kenapa mas Adit mau cerai dari mbak Tami, mas Adit selingkuh kan? Sama cewek yang di konsultan itu kan?"
Adik Utami, ipar Adit tiba-tiba menghardik, memperkeruh keadaan. Adit emosi, tidak seharusnya bocah itu ikut campur urusan keluarganya.

"Jangan ngomong sembarangan kamu!"

"Apa? mau menyangkal? Dasar pecundang!"

Bukkk..bukkk

"Itu belum sesakit hati kakak ku!"

Adit terpojok kedinding, dua pukulan keras mendarat di pelipis dan perutnya. Ia menahan rasa sakit dan emosinya, memendam keinginan untuk melawan.

Adit berusaha bangkit sambil memegangi perutnya, tapi tinju Riyan siap menghajarnya kembali, Adit melindungi kepalanya.

"Cukup!"

Utami yang sedari tadi duduk dalam rangkulan mamanya kini melompat, bersimpuh dihadapan Adit, melindungi laki-laki itu dari serangan adiknya.

"Mas Adit gak salah, ini semua salah Tami, Tami emang pantas di ceraikan!"
Tangis Utami terdengar semakin memilukan, tangis penyesalan dan kecewa yang berkepanjangan.

***

5 tahun yang lalu...

Didalam kamar mandi, dengan keran air yang masih menyala, gadis berwajah oval nan ayu merapat kedinding keramik. Wajahnya pucat. Tangannya bergetar memegang alat pipih dengan dua garis merah pertanda positif.

"[Hallo, apa sih Tam? Ini masih pagi]"
"Jen, gue hamil"
"[Hahh! Gimana ceritanya?gak pake pengaman?pil KB lo abis?"]
"Gak tahu, gimana dong? Gue bingung"
Tangisnya berderai
["Ntar deh Tam, jam 10 gue ke kost lo, skarang gue masih ngantuk"]
"Jen! Jeni!"

Tut..tut..tut
***

Sudah masuk bulan kedua, tapi janin yang katanya masih rentan itu tak kunjung keluar. Sudah macam-macam minuman dan obat yang menghantamnya, tapi tak ada reaksi. Jeni teman akrab sekaligus orang ysng mengenalkannya dengan dunia bebas mulai menjauh.

Utami mulai bingung, ia menyesal, sangat menyesal. Selama ini dengan mudah ia mengikuti kemauan teman lelakinya. Beberapa kali ia mencari pembenaran atas kelakuannya dengan alasan Adit terlalu kaku, jangankan kecupan hangat pegang tangan saja ia tak mau. Adit hanya datang malam minggu dengan menenteng 2 bungkus nasi goreng, lalu mengajaknya makan berdua di teras. Ah..Pacaran macam apa itu?

Dengan pacar barunya Utami merasakan getar romantisme yang menghanyutkan. Berjalan di pantai bergandengan tangan, kecup hangat ala drama Korea, hingga lupa diri melanggar batas yang paling keras. Tak ada penyesalan waktu itu, ia menikmatinya. Bahkan putus satu tumbuh seribu. Hingga Adit memergokinya dikamar tidur teman kerjanya. Kemudian Adit menghilang.

Kini tak satupun dari lelaki itu yang mengakui anak yang dikandung Utami. Perempuan muda yang masih bergelar mahasisiwi itu kini putus asa, menenggak cairan pembersih lantai, ingin mati secepatnya.

Dia tersadar setelah sebelah tangannya dipasang infus. Dokter setengah baya dan seorang pria berkemeja berjalan kearahnya.
"Jangan di ulangi ya, kalau temanmu tak cepat menolong mungkin nyawamu dan nyawa anakmu sudah melayang" katanya garang.

"Anak? Maksud dokter?" Laki-laki berkemeja mengernyit

"Kalian gak tau kalau dia hamil?"

Dokter melangkah pergi sambil geleng-gelengkan kepala, memerintahkan perawatnya mengantar Utami ke ruang perawatan. Tinggallah Adit dan kedua teman satu kostnya yang tercekat bagai tersengat listrik.

Dikamar rawat, Adit berdiri disisi jendela, menatap aktivitas diluar. Kemudian kembali duduk disisi Utami, sementara dua teman Utami duduk di dekat kakinya.
"Mas, kamu disini?"
Utami merasa sangat menyesal, tangisnya kembali pecah menyadari kalau orang yang ia campakkan justru peduli padanya saat ia terpuruk.

"Teman kostmu bilang kau keracunan, mereka bingung, makanya ku bawa kesini. Sebentar lagi orang tuamu datang, temanmu sudah menelponnya tadi pagi, setelah itu aku akan pulang"

"Mas, jangan bilang papa tentang kondisi ku ya"

"Untuk apa ditutupi, cepat atau lambat mereka akan tahu juga"

Pintu kamar terbuka, perempuan glamour setengah baya menghambur memeluk Utami, sementara lelaki berwibawa masih berbincang dengan dokter sebelum akhirnya masuk dengan muka merah padam.

"Apa yang kau lakukan Tami! Mau ditaruh di mana muka orang tua mu! Siapa ayah janin itu!"

Utami meraung ketakukan bersembunyi di balik tubuh mamanya.
Laki-laki itu menghadap ke Adit dan..
Plakkk...
"Kau yang menghamilinya kan? Aku titipkan Utami untuk kau jaga, bukan untuk dihamili! Brengsek!"

"Aku tidak tahu menahu tentang kehamilan Utami pak!, bukan aku yang melakukannya"
Adit membela diri

"Lalu siapa Utami!" Seru papa Utami

Utami panik, dia tidak mungkin menceritakan semua kelakuannya selama ini. Dia tahu hanya Adit yang bisa menyelamatkannya, hanya Adit yang bisa melindungi reputasi ayahnya sebagai orang terpandang.

"Mas Adit, ini anak Tami dan mas Adit"
Utami sesenggukan, Adit terperangah, orang makan nangka kini dia dapat getahnya, tak satu patah katapun mampu ia ucapkan, tubuhnya lemas, tega sekali Utami memfitnahnya.

"Segera setelah kondisimu membaik, kalian pulang untuk dinikahkan.

***

High Quality Pelakor ( End )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang