Bagian 17 ( Duda )

2.9K 114 3
                                    

Entah bagaimana bisa sampai disini. Erin sebetulnya hanya punya gambaran bahwa kota yang ditujunya adalah kota tempat ia kuliah dulu, siapa tahu ada satu dua teman yang masih tinggal disana. Setelah pulang kampung, Erin memang tak banyak berkomunikasi dengan teman-teman lamanya.

"Kita ke Jogja yuk"
Juli teman kuliah Erin tiba-tiba saja bicara dengan berapi-api. Sementara Erin menumpang di rumahnya, rencananya hanya sampai menemukan kerjaan baru, setelah itu Erin akan mencari kostan yang tak jauh dari tempat kerjanya nanti.

"Mau apa kita ke Jogja?"

"Kerja"

"Kenapa nggak disini saja Jul, di Jogja umumnya gaji kecil lo"

"Yaa..suka aja sih sama Jogja, aku juga pengen lanjut S2 disitu"

"Terus, kita tinggal dimana?"

"Sementara di rumah mbak Tantri, Anak angkat mamaku, selanjutnya ya terserah"

Dan akhirnya Erin disini, di kota Jogja yang sederhana. Memulai hidup dari nol. Tak ada yang tahu dia disini, bahkan Bude dan Mbak Amel, apalagi Adit. Huhf...Erin masih saja memerah jambu tak tahu diri bila ingat PNS ganteng itu.

Dia mulai mengirim lamaran ke beberapa konsultan bangunan, sementara dari sore hingga malam ikut Mbak Tantri mengajar mengaji anak-anak di TPQ dekat rumah. Juli kekeh ingin melanjutkan S2 tanpa memikirkan pekerjaan. Maklum, dia masih punya orang tua yang membiayai kuliahnya. Kadang Erin iri, tapi ia tak ingin gegabah, biarlah menunggu satu tahun lagi untuk kuliah, biar jelas dulu penghasilan, kalau dipaksakan takutnya tabungan yang kering kerontang.

" Bapak lagi nunggu siapa?"
Tanya Erin pada seorang bapak tua enampuluhan yang dari tadi duduk dibawah pohon talok depan TPQ. Anak-anak mengaji sudah pada bubar, sebagian masih berlarian di halaman.

"Malik"

Erin celingukan mencari sosok bocah laki-laki enam tahun yang entah ada dimana.

"Itu dia pak!"

Erin menunjuk bocah yang dimaksud, dia baru keluar dari kamar mandi. Si bocah bukannya menuju kakeknya, malah berlari kehalaman.

"Maliknya malah main pak"

"Gak pa pa, saya tunggu aja"
Senyumnya mengembang
"Kamu gurunya?"

"Iya pak"
Erin mengangguk hormat

"Kuliah dimana dulu?"
Erin yang masih berdiri memilih duduk di bangku-bangku dekat si bapak.

"Ehm, saya baru disini pak, sebenarnya lulusan Arsitektur"

"Oh, kamu arsitek? Kerja dimana sekarang?"

"Belum kerja pak, baru masukin lamaran, soalnya baru dua minggu disini"

"Kerja sama saya mau? Saya punya konsultan bangunan"

Mata Erin berbinar, pas! Dia memang butuh pekerjaan, anggukannya kencang.

"Senin datang ke kantor saya ya, bilang cari pak Warsito"
Ia menyebutkan satu alamat, Erin tak tahu itu dimana, tapi tak apa, ia akan mencarinya sampai dapat.

Tanpa kesulitan berarti Erin berhasil mendapatkan pekerjaan, junior Arsitek, walaupun berpengalaman dikotanya, tapi disini ia anak bawang.

Kantor itu di kepalai anak pak Warsito, Aryanda namanya, ayah Malik, bocah yang diajarkan Erin mengaji. Lelaki berwajah sederhana, manis, dia juga  ramah dan humoris. Semua orang dikantor menyukainya. Eits..Erin harus berhati-hati kali ini. Ia tak ingin kejadian lalu terulang kembali.

Teman tim teknis perempuannya juga banyak, mereka ramah dan banyak membantu Erin beradaptasi. Dengan cepat Erin akrab dengan suasana kantor, gaji kecil tidak mashalah, jika dari dulu ia disini, mungkin Erin tak perlu mengalami nasib menjadi pelakor.

"kenapa kamu bisa cari kerja di sini Rin?"
Tanya Aryanda suatu malam saat menjemput Malik. Terus terang baru kali ini Erin mendapatinya menjemput Malik. Biasanya pak Warsito yang datang.

"Niatnya pengen lanjut kuliah pak, tapi biayanya belum cukup"

"Panggil mas Arya saja, saya agak canggung kalau di panggil bapak, rasanya kok tua banget" balasnya renyah, dengan logat jawa yang kental.

"Mudah-mudahan periode berikutnya bisa daftar ya"

"Aamiin, makasih mas. Saya masih hunting, nyari yang gak ganggu jam kerja"

Erin tersenyum, senang sekali rasanya dapat suport begitu.

"Di atur aja Rin, kita fleksibel kok, yang penting kerjaan selesai, ilmu itu penting. Ningrum dan Dodi juga kuliah, tanya mereka deh gimana ngatur waktunya"

****

Erin mengemas pakaian ke dalam travel bag dan beberapa tas jinjing, pakaiannya tak banyak, belum pernah beli semenjak pindah ke Jogja. Mbak Tantri duduk di tepi ranjang.

"Kamu beneran mau pindah Rin?"

"Iya mbak, kan aku udah komit kalau udah kerja aku mau ngekost"

Sudah tiga bulan Erin bekerja, sudah mantap rasanya, bahkan sudah dipercaya buat ngedesain satu rumah mixuse, langsung kolaborasi dengan mas Arya yang backgroundnya juga Arsitek.

"Rin, kamu deket sama Arya toh?
Pertanyaan mbak Tantri membuat alis Erin bertaut.

"Biasa aja mbak, namanya satu kerjaan, tapi deketnya cuma urusan kerja aja kok. Emangnya kenapa mbak?"

"Kemarin mbak ketemu Arya, dia nanyain kamu"

"Maksudnya?"

"Arya itu duda Rin, istrinya masih sodaraan sama mbak, meninggal karena sakit empat tahun yang lalu, dia minta pendapat mbak, ingin lebih deket sama kamu"

Aduh, jantung Erin jadi dag-dig-dug, emang mas Arya perhatian, tapi Erin kira dia begitu pada semua orang. Lagi pula luka ini belum lagi sembuh sempurna, bayang Adit masih bebas berkelebat, memenuhi ruang hatinya"

High Quality Pelakor ( End )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang