*C E R B U N G* *MENENTANG_TAKDIR* *Part_2*

7K 85 0
                                    

Suasana di ruang tengah mendadak hening saat Abi mulai membuka suara.

“Tujuan dari Abi mengumpulkan kita semua di sini adalah untuk menyampaikan sebuah kabar gembira untuk kita semua, terutama untuk Jihan,” Abi menatapku penuh rahasia. Semua mata pun tertuju padaku dan mereka semua tersenyum seolah menggoda. Kecuali Hakim. Lelaki itu seolah tak peduli dengan keadaan, ia malah asik memainkan ponselnya.

“Ada apa sih, Bi? Bikin penasaran aja deh!”

Abi tertawa kecil. “Sabar dong, Nak,” ujar lelaki berpeci putih itu. Jenggotnya terlihat sudah sedikit memutih, menandakan usianya tak lagi muda.

Aku mengalihkan pandangan pada Umi yang terlihat anggun dengan jilbab coklat mudanya malam ini. “Mi, ini ada apa sih?” tanyaku tak sabaran.

Umi yang duduk di samping Abi melirik suaminya lalu berkata, “biar Abi aja yang menyampaikan,” sahutnya.

Aku memanyunkan bibirku. Apa-apaan sih mereka bikin penasaran saja!

“Sabar aja kenapa sih? Tungguin Abi selesai ngomong!” celetuk Fadil yang duduk berseberangan denganku.

Terpaksa aku mengunci bibirku.

“Jadi begini Jihan, kemarin abinya Hakim, bercerita pada Abi. Kalau ada sepupu jauhnya Hakim sedang mencari jodoh, dan...” Abi menggantung kalimatnya, “kami berencana menjodohkanmu dengan lelaki itu,” lanjut Abi.

Aku terperanjat. ‘Apa? Tanpa sepengetahuanku mereka main jodohin aja, ketemu juga kagak pernah!’ batinku.

“Siapa namanya Nak Hakim? Abi lupa,”

Hakim yang tengah asyik dengan ponselnya segera mengangkat wajah lalu menjawab dengan berat, “Amran,” ia memandangku, lalu menoleh pada Abi, “namanya Amran, Bi.”

“Oh iya, Amran. Dia baru saja pulang dari Malaysia menyelesaikan S3-nya. Anaknya baik dan santun. Dia juga seorang hafizh. Abi sudah bertemu dengannya waktu itu. Kamu bersedia kan untuk nadzhar dengannya besok sebelum berangkat?”

Aku tak menimpali. Hanya diam menunduk sambil menarik-narik benang di sarung bantal kursi berbentuk love itu.

Tiba-tiba Azizah menyikut lenganku. “Jihan, Abi lagi gomong sama kamu lho, kok diam aja?” bisiknya.

Aku tergagap dan segera menegakkan kepala. Menatap Abi yang menunggu jawabanku.

“Terserah Abi saja,” sahutku pelan, “aku menurut kalau sekiranya dia baik menurut pendapat Abi.” Pungkasku.

“Alhamdulillaah...,” terdengar suara mereka semua mengucap syukur mendengar jawabanku.

Entah aku harus bahagia atau bagaimana. Tapi tak ada salahnya menuruti kata-kata Abi. Karena aku yakin beliau tidak sembarangan dalam memilih calon menantu. Contohnya saja Azizah dan... Hakim.

   ***

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Suasana rumah sudah sepi, karena penghuninya sudah kembali ke peraduan masing-masing untuk menunaikan hak tubuh. Sedangkan aku masih setia duduk di sini, di depan televisi. Aku mengambil chanel kartun. Sebab sampai usia 26 tahun ini aku masih suka dengan film kegemaran anak-anak itu meskipun pikiranku tidak fokus pada acara yang sedang kutonton.

“Jihan?” tiba-tiba suara Fadil membuatku terkejut.

“Abang, bikin kaget aja. Aku kira siapa,”

“Maaaaf,” ucapnya sambil menghempaskan tubuhnya di sebelahku. Di tangannya ada segelas minuman dingin yang baru saja ia ambil dari lemari es. Ia meneguknya beberapa kali dan menaruh sisanya di atas meja.

Menentang_TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang