“Selamat ya, Bu. Ibu tengah hamil 4 minggu.” Wanita berkerudung putih itu tersenyum, seakan ikut merasakan kebahagiaanku mendengar pernyatannya.
Mataku membesar. “Saya hamil, Dok?” Tanyaku tak percaya.
Wanita itu mengangguk yakin.
“MaasyaaAllah, walhamdulillaah, suami saya pasti senang sekali mendengar berita ini, Dok.”
“Pastinya dong, Bu. Oh ya, tapi...Bu Jihan harus menjaga kandungan trimester pertama ini dengan baik. Nggak boleh terlalu capek, kontrol emosi, dan makan makanan yang bergizi. Jangan terlalu banyak berpikir yang berat-berat, rileks aja agar janinnya juga happy di dalam sana.” Ujarnya seraya tersenyum dan menulis sesuatu disehelai kertas resep.
“InsyaaAllah, siap Dokter.” Sahutku tak dapat menyembunyikan rasa bahagia ini.
“Ini saya kasih resep vitamin untuk Bu Jihan, jika di rasa butuh silahkan di tebus, jika tidak juga tidak apa-apa. Yang penting pola makan dijaga, makan makanan yang bergizi,” beliau menyerahkan secarik kertas itu padaku.
“Baik, Dokter. Terima kasih banyak.” Kuterima kertas itu. “Kalau begitu saya permisi dulu ya, Dok? Assalaamu’alaykum!”
“Wa’alaykumussalaam,”
Dengan raut wajah yang begitu bahagia, aku melangkah keluar dari ruangan itu. Tak sabar rasanya untuk memberitahu Amran. Aku sengaja memintanya menunggu di luar saja.
“Jihan, gimana? Apa kata dokter? Kamu beneran hamil?” Ia memberondongku dengan pertanyaan saat aku baru saja tiba di luar.
Aku tersenyum, begitu sumringah, lalu mengangguk. “Iya, Bang. Aku hamil.”
“MaasyaaAllah, walhamdulillaah!” Lelaki itu langsung memelukku dan mengangkat tubuhku sambil berputar-putar layaknya film bollywood. Seolah tak peduli tatapan orang-orang sekitar yang hanya bisa senyum-senyum saja melihat tingkahnya.
“Abang apa-apaan sih? Turunin aku, malu tahu dilihat orang,”
“Kenapa malu? Sama istri sendiri kok, bukan istri orang.” Tukasnya cuek.
“Tapi aku pusing, Bang!”
Amran langsung menghentikan aksinya lalu menurunkan tubuhku. “Maaf, Sayang. Abang terlalu bahagia,” ia memegang kedua belah pipiku. Matanya terlihat berbinar.
“Sebentar lagi abang akan menjadi ayah. Ya Allah, kenapa jadi nggak sabaran gini ya?”
“Sabar Bang, masih delapan bulan lagi,”
Amran tertawa kecil. Lalu ia menggandeng tanganku untuk segera meninggalkan tempat praktek dokter kandungan itu.
“Kak Jihan? Bang Amran? Kalian ngapain di sini?”
Kami terkejut saat menjumpai Madya dan Hakim di pintu keluar.
Aku dan Amran saling berpandangan dan tersenyum penuh arti.
“Jangan-jangan...kak Jihan hamil ya?” Tebaknya.
Aku mengangguk dan tersenyum. “Iya, Madya. Alhamdulillaah,”
“Waaah, maasyaaAllah,” Madya memelukku erat, “selamat ya Kak, aku seneng banget dengernya,”
Lalu ia melepas pelukannya.
“Selamat ya Amran!” Hakim menepuk pundak sepupunya.
“Terima kasih. Aku baru tahu, ternyata begini rasanya saat tahu kalau istri kita hamil,” ujarnya sambil tertawa kecil.
“Eh, kamu ke sini ngapain?” Tanyaku pada Madya.
“Mau kontrol aja kok, Kak. Ini Bang Hakim suka cerewet kalau dalam sebulan aku nggak kontrol.” Ia melirik suaminya. Hakim cuma tersenyum simpul menanggapi ucapan Madya. Sejenak mata kami sempat beradu pandang, namun beberapa detik hingga kami sama-sama membuang muka.