*C E R B U N G* *MENENTANG_TAKDIR* *PART_10*

11.2K 90 4
                                    

Jihan, maaf ya Sayang. Kayaknya kencan makan siang kita batal deh hari ini, ada masalah di kampus dan abang nggak bisa ninggalin. Kayaknya sore abang baru bisa pulang. Nggak apa-apa kan?]

Sebuah pesan masuk melalui ponselku. Sedikit bernapas lega karena tanya di hati sudah terjawab.

Sambil tersenyum aku membalas pesannya.

[Iya bang nggak apa-apa kok. Oh ya, mau diantar nggak makan siangnya ke kampus? Tapi aku beli jadi aja, nggak apa-apa?]

[Boleh Sayang. Dengan senang hati. Abang tunggu ya? Fii amaanillaah]

Aku pun bergegas menyambar tasku. Lalu keluar dari kamar dan setengah berlari menuruni anak tangga.

“Jihan, pelan-pelan kalau turun tangga itu. Nanti kamu jatuh!” Tegur abi.

“Iya Bi, aku buru-buru.” Kuambil tangan beliau dan menciumnya dengan hormat.

“Mau kemana?”

“Ke kampus Bi, antar makan siang buat bang Amran.” Sahutku sambil setengah berlari menuju pintu keluar.

Abi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak perempuannya.

     ***

Aku turun dari motor begitu sampai di pakiran kampus. Dengan riang berjalan menuju ruangan Amran. Menenteng sekotak makanan kesukaannya.

Di sepanjang jalan aku berpapasan dengan beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang diantara mereka sudah mengenalku sebagai istri Amran. Mereka menyapa dengan ramah, meskipun tak sedikit yang saling berbisik. Tapi aku tak peduli, mencoba fokus dengan tujuanku datang ke sini.

Angin siang menyapa saat kakiku menginjak lantai di depan ruangan Amran. Membuat ujung jilbab lebarku menari-nari. Seolah ia merasa bahagia saat diri ini akan bertemu dengan kekasih hati.

“Assalaamu’alaykum!” Aku mengucap salam. Dan aku terkejut saat sosok yang kutemui bukanlah Amran. Tapi adik iparku yang tengah duduk sendiri sambil mengutak atik ponselnya.

“Wa’alaykumussalaam warahmatullaah,” jawabnya. Dan ia pun tampak terkejut saat mengetahui kehadiranku. “Jihan?”

“Hakim? Kamu ngapain di sini? Bang Amran mana?” Tanyaku tanpa beranjak dari depan pintu.

“Aku juga lagi nunggu Amran. Tadi dia ada perlu sebentar, katanya ada tamu dan minta diantar untuk melihat beberapa ruangan kampus ini.” Jelasnya.

“Ooh, ya sudah,”

“Eh, kamu duduk aja di dalam biar aku yang di luar,” Hakim beranjak dari kursinya.

“Nggak, nggak usah, aku mau nyusul bang Amran aja!” Tolakku.

“Mau diantar?”

Aku menoleh padanya sambil mengernyitkan dahi dengan raut tak suka, “jangan konyol!” ucapku sambil berlalu meninggalkannya.

“Jihan?” Suara Amran menghentikan langkahku. Ia datang ke hadapanku bersama beberapa rekannya. Dan...perempuan itu? Bukankah itu Zainab?

Ada Hakim yang berdiri terpaku di belakangku. Tatapan mata Amran pun terlihat penuh selidik.

“Kamu udah lama?”

“Baru saja,” jawabku singkat.

“Pak Amran, kalau begitu kami permisi dulu ya.” Salah satu dari rekannya yang laki-laki meminta izin. Diikuti rekannya yang lain.

“Oh iya, silahkan, silahkan! Tolong antar Bu Zainab juga ke ruangannya ya?”

“Baik, Pak. Permisi. Mari Bu Jihan,”

Menentang_TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang