“Astaghfirullaah!” Aku menutup wajah dengan kedua tanganku. Buru-buru menutup layar ponsel dan membiarkannya tergeletak begitu saja di atas meja. Berusaha menata irama jantung yang mulai berdetak tak karuan. Aku tak ingin terjerumus dalam khayalan yang tak halal untukku. ‘Ya Allah, perasaan seperti apa lagi ini? Bukankah rasa itu sudah tenggelam? Kenapa muncul lagi?’
“Merindukannya?”
Aku terperanjat. Ternyata Amran sudah berada di depanku sambil memegang ponselku. Mataku membesar, berusaha merebut benda itu kembali dari tangannya. Namun dengan sigap ia menjauhkannya dariku.
“Ternyata percuma abang membawamu jauh ke sini, jika hatimu masih tertinggal di sana,” ujarnya getir. Raut wajahnya penuh dengan amarah yang tertahan.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, “nggak Bang, abang salah paham!” Aku bangkit dari dudukku. Berdiri sejajar dengan lelaki itu. Tapi ia langsung membuang muka.
“Bang ... “ kupegang tangannya. Tapi ia menepisnya dengan kasar. Sungguh aku terkejut melihat tingkahnya malam ini. Kenapa dia seperti ini? Tak seperti biasanya.
“Ponselmu mulai sekarang abang yang pegang!”
“Tapi ... “
“Jangan membantah!” Ucapnya setengah membentak. Lalu ia membalikkan badan meninggalkanku, keluar dari rumah. Entah kemana.
Aku terperanjat. Sungguh tak menyangka dia bisa bersikap seperti itu padaku. Hanya bisa terpaku di tempat dengan mata yang berkabut, hingga satu persatu butiran bening itu jatuh mengalir di pipiku.
Apa itu hanya karena dia cemburu? Padahal yang dia lihat hanyalah foto-foto kenangan beberapa tahun lalu, saat aku dan Hakim aktif di masjid. Dan entah apa pula maksud hakim menandai aku dengan foto yang sengaja ia posting di media sosial itu. Bukan pula foto kami berdua, melainkan foto bersama. Tapi memang posisi kami berdekatan. Apalagi salah satu foto terlihat secara tak sengaja Hakim tengah menatapku tanpa disadarinya.
Kuhapus air mata dengan punggung tangan, mengusap perut yang semakin membesar dan mencoba tersenyum. Kurang lebih tiga bulan lagi aku akan melahirkan, jadi aku berusaha untuk tidak terlalu larut dalam masalah apa pun. Aku ingin anakku lahir dengan kondisi baik. Berpikir positif adalah solusi terbaik untukku saat ini. Mungkin Amran sedang ada masalah di pesantren, atau dia memang sedang lelah banyak pikiran.
***
Sudah pukul sebelas malam, tapi Amran belum kembali. Mau dihubungi kemana coba? Ponselku saja dia bawa. Aku mengintip lewat jendela kaca, belum ada tanda-tanda dia kembali ke sini. Suasana asrama di sini juga sudah sepi. Hanya terdengar sayup-sayup para santri tengah murajaah di gedung seberang sana. Mobilnya juga tidak di bawa, berarti dia masih berada di lingkungan pesantren.
Rasanya ingin keluar mencarinya, tapi sudah terlalu malam. Tidak enak juga dengan penghuni lain jika aku keluar tengah malam begini, apalagi sambil mencari-cari Amran. Bisa jadi bahan gosip nantinya. Tapi ... kenapa dia belum balik juga?
Jam di dinding sudah menunjukkan hampir pukul dua belas. Tapi Amran belum juga kembali. Tak tenang rasanya hati ini.
Akhirnya aku memutuskan untuk mencarinya. Memasang long coat hitam, lalu melangkah keluar dari rumah. Memperhatikan keadaan sekitar bahwa tidak ada mata yang sedang mengawasiku.
‘Kemana aku harus mencarinya di lingkungan yang begitu luas ini? Apa mungkin dia ketiduran di masjid?’
Kuarahkan langkahku ke bangunan yang begitu luas itu, tempat para santri biasa shalat berjama’ah. Ada beberapa orang yang masih asyik dengan alqur’an di tangannya. Melantunkan ayat-ayat Allah di tengah malam yang dinginnya terasa menusuk sampai ke tulang. Aku celingak celinguk di dekat teras, sungkan untuk masuk karena di sini ikhwan semua.