Pagi ini aku akan bertolak ke Jakarta bersama Fadil dan keluarganya. Mungkin aku akan merasa sedikit lega karena tidak akan melihat Hakim dan Madya lagi untuk sementara waktu. Tapi hatiku? Perlu waktu untuk menerima semua yang sudah terjadi.
“Jihan, jaga dirimu baik-baik. Nanti tanggal pernikahan akan segera kami kabari. Mungkin dalam waktu dekat,” ujar Abi.
“Apa tidak bisa menunggu sampai kuliahku selesai, Bi?” Harapku.
“Tidak. Itu terlalu lama. Pernikahanmu lebih penting. Kalau rasanya mengganggu...kamu berhenti saja kuliahnya.” Jawaban Abi tegas.
Aku membelalakkan mata, “berhenti? Apa tidak ada pilihan lain, Bi?” Rengekku.
“Jihan,” Umi menengahi, “jangan membantah Abi. Semua demi kebaikanmu,”
‘Apa? Kebaikanku atau kebaikan mereka?’ batinku.
Aku diam, tak lagi menjawab. Hanya menahan rasa kesal dalam hati.
Kemudian dengan malas aku memeluk mereka satu persatu. Abi, umi, Madya...lalu saat sampai pada lelaki itu aku hanya menangkupkan tangan di dada, begitupun yang ia lakukan.
“Jaga adikku baik-baik!” Kalimat itu keluar begitu saja dari bibirku.
Sempat kulihat ia hanya mengangguk pelan.
Kemudian aku bergegas masuk ke dalam taksi yang akan mengantar kami ke bandara. Fadil dan keluarganya sudah menunggu di dalam.
Aku memandang mereka yang mengiringi kepergian kami. Bahkan ketika mesin beroda empat itu bergerak perlahan, kulihat Hakim menyeka sudut matanya, dan mencoba terenyum meski terlihat sekali kalau itu dipaksakan. Perih rasanya. Tapi aku tak kuasa berbuat apa-apa. Hanya bisa berdoa semoga mereka bahagia meskipun dada terasa sesak.
[Jaga dirimu baik-baik...kak Jihan]
Sebaris pesan yang masuk ke ponselku benar-benar membuat air mataku akhirnya jatuh. Azizah memegang tanganku erat, seolah ia tahu apa yang sedang kurasakan. Mungkin juga dia memang sudah tahu dari Fadil tentang apa yang sudah terjadi.
“Semua akan baik-baik saja, Jihan. Percayalah!” lirihnya.
Aku mengigit bibir bawahku, berusaha agar luka ini tak terlalu sakit rasanya. “Tapi rasanya begitu sakit, Kak,” sahutku dengan suara hampir tak terdengar.
Fadil yang duduk di depan menoleh ke belakang, lalu ia juga mengulurkan tangannya padaku dan ikut menggenggam tanganku. “Ingatlah bahwa sabar dan shalat adalah sebaik-baik penolong.” Ucapnya lugas. “Ada abang dan kakakmu yang akan membantu merawat luka itu. Kamu nggak sendiri,”
Aku hanya terdiam mendengar ucapan Fadil. Ya, hanya Fadil yang sangat mengerti aku. Sejak aku masih kecil ia sangat menyayangiku. Selalu melindungi dan tak sedikitpun pernah menyakitiku. Hingga kini saat kami telah dewasa, rasa itu masih sama. Ia tak pernah berubah.
“Tapi aku nggak mau berhenti kuliah, Bang,” ujarku diantara isak tangis, “abi terlalu egois, selalu mementingkan diri sendiri.”
“Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Walau bagaimanapun dia orang tua kita. Kalau soal kuliahmu, masih bisa kita bicarakan nanti. Yang jelas sekarang kamu jalani saja hari-harimu seperti biasa. Minta sama Allah apa saja yang kamu inginkan.” Pungkasnya.
Aku menarik napas panjang, berusaha menghentikan tangis yang masih terasa menyesak di dada. Fadil benar, aku harus berusaha menjalani hari-hariku seperti biasa. Menunggu takdir yang telah digariskan untukku.
***
Sebulan berlalu.
Aku baru saja sampai di rumah selepas zuhur berlalu saat melihat Azizah sibuk menata makanan yang lumayan banyak di meja makan.