*C E R B U N G* *MENENTANG_TAKDIR* *PART_6*

6.9K 87 1
                                    

Aku terbangun ketika jam menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit. Aah, kepalaku terasa berat sekali.

“Jihan? Sudah bangun?” Sapa Amran yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wajah dan rambutnya basah terkena air wudhu.

Hanya kujawab dengan anggukan pelan.

“Sana mandi dulu, habis itu kita sarapan bareng.” Amran membentangkan sajadah.

“Abang belum sarapan?”

“Ya belumlah, kan nungguin nyonya besar bangun dulu. Nggak enak dong abang turun sendiri ke bawah tanpa kamu. Bisa diledek habis-habisan abang nanti,” sahutnya. Lalu ia fokus menghadap kiblat. Menunaikan shalat Dhuha.

Amran. Ibadahnya membuatku iri, bahkan sungguh terasa kerdilnya diri ini di hadapannya.

   ***

Amran berdiri di belakangku saat aku tengah menyisir rambut. Hingga wajah kami berdua terpampang jelas di kaca. Sebab postur tubuhnya yang lebih tinggi dariku. Di situ aku menyadari, betapa jauhnya perbedaan kami. Dia terlalu sempurna sebagai laki-laki.

“Hayoooo, mikirin apa?” Amran memelukku dari belakang, membuat aku benar-benar terkejut dengan perlakuannya.

Aku tak menjawab, hanya tertunduk menatap jemarinya yang tengah mendekap tubuhku.

“Aku tidak pantas bersanding denganmu, Bang. Kamu terlalu sempurna untukku,”

Amran melepas pelukannya. Lalu memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan. Wajahnya begitu dekat denganku.

“Jangan pernah bicara seperti itu lagi, abang tidak suka!” Tegasnya pelan. “Abang memilihmu bukan dari segi fisik, tapi dari sini,” Amran menunjuk dadaku, “kamu memiliki hati yang baik, dan mungkin kamu tidak menyadarinya. Tapi abang bisa melihatnya,”

Aku tak menimpali, membuang pandanganku dari mata teduhnya. “Tapi aku merasa...kita tak sebanding. Bukan hanya dari segi fisik, tapi...,”

“Jihan!” Amran memotong ucapanku. “Jika membicarakan soal itu takkan ada habisnya. Yang jelas, abang memilihmu dan kamu sekarang adalah istri abang. Titik.” Pungkasnya.

“Sekarang ayo kenakan bajumu, kita sarapan.”

Aku mengangguk patuh. Kemudian mengganti pakaian tidurku dengan gamis dan hijab panjang.

Entah kenapa saat aku mengganti pakaian Amran selalu membuang muka, tak pernah ia melihat atau melirik sedikit pun. Padahal jika ia ingin melihat ya sah-sah saja, atau melakukan lebih dari itu juga bukan masalah. Tapi tidak, ia lebih memilih mengutak-atik ponselnya atau pura-pura sibuk membolak-balik mushaf. Aneh! Biasanya pengantin baru itu suka tidak sabaran ingin menuntaskan malam pertamanya, tapi Amran berbeda ia belum membahas soal itu semalam atau pun hari ini. ‘Kenapa? Apakah aku memang tidak menarik di matanya sama sekali?’ Tiba-tiba saja beribu pertanyaan bersarang di benakku.

     *** 

Sejak menyelesaikan S3-nya, Amran diangkat sebagai rektor di universitas tempat ia mengajar. Ia pernah mengajakku ke kampus dan memperkenalkanku pada teman-temannya. Selama di kampus, tangannya selalu menggandengku kemana-mana. Tak peduli tatapan aneh atau ledekan dari teman-teman atau pun mahasiswanya. Hanya aku saja yang merasa minder dan malu.

Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Kenapa sudah seminggu menikah dia sama sekali belum pernah menyentuhku. Menyentuh hanya sebatas kecupan di dahi atau di pipi saja, atau hanya sekedar memelukku. Tak pernah ia meminta lebih dari itu. Ia selalu bersikap baik dan mesra padaku. Walaupun saat kami sedang berdua atau sedang di depan keluarga dan orang lain. Bahkan ia cenderung selalu menuruti apa saja kemauanku mulai dari hal kecil sampai hal besar sekalipun. Termasuk saat aku meminta izin untuk kembali ke Jakarta menyeleaikan S2-ku.

“Silahkan kalau memang itu keinginanmu,” sahutnya sambil tersenyum dan membelai lembut kepalaku. Saat itu kami tengah menyusuri pinggiran pantai menikmati masa-masa yang disebut orang dengan honeymoon.

Kutatap wajahnya tak percaya. “Abang serius?” kuhentikan langkahku.

“Apa kedengarannya seperti main-main?” ia balik bertanya sambil melotot.

“Abang tidak keberatan?” Aku kembali meyakinkannya.

“Selama itu bisa membuatmu selalu tersenyum untuk abang, dan selama itu bisa membahagiakanmu, abang akan izinkan,” jawabnya.

“Ya Allah, makasih Bang,” kupeluk lengannya. Lalu kami kembali berjalan menyusuri bibir pantai. Deburan ombak yang memecah pantai seakan ikut merasakan kebahagiaan di hatiku. Embusan angin juga seakan membisikkan senandung bahagia di telinga. Akhirnya aku masih bisa meneruskan kuliahku, meskipun harus berpisah dengan suamiku. 

   *** 

Besok aku akan segera bertolak ke Jakarta setelah mengantongi izin dari Amran. Siang tadi aku sudah selesai berkemas. Semua yang aku perlukan sudah masuk ke dalam tas besar. Betapa rindunya aku bertemu dengan para dosen dan teman-temanku. Aku juga rindu dengan suasana kelas yang begitu hangat. Ah, jadi tersenyum sendiri membayangkannya.

“Hey, kenapa senyum-senyum sendiri?” Tanya Amran yang sejak tadi memperhatikanku. Kami sama-sama berbaring di ranjang malam itu.

“Ah, nggak Bang. Cuma rindu aja membayangkan suasana kampus,” sahutku sumringah.

Amran terdiam, terdengar helaan napasnya.

“Abang yakin mengizinkanku pergi? Nanti yang ngurus abang siapa?”

“Jangan bertanya lagi, atau surat izinnya abang cabut,” ancamnya.

“Iiiih, jangan dong Bang!” Rajukku sambil beringsut mendekatinya. Lalu meletakkan kepalaku di lengannya hingga dengan leluasa ia bisa memelukku. Kembali wajah kami berdekatan, mata saling berpandangan. Ada deru napas yang tak biasa terdengar. Aku menahan napas, berusaha menduga apa yang akan dia lakukan malam ini padaku. Aku ingin dia menuntaskan sebuah gelora yang harusnya sudah terbayar sejak malam pertama kami menikah, agar ia tak merasa tersiksa saat berjauhan denganku nanti.

“Tidurlah, besok kita harus berangkat pagi ke bandara,” ucapnya memecah keheningan. Dan seperti biasa, hanya berakhir dengan kecupan di dahi.

Aku tersadar dari khayalan, dan segera menguasai diri.

Kulihat Amran sudah memejamkan matanya. Deru napasnya sudah kembali tenang. Hanya detakan jantungnya yang masih terdengar kencang.

“Bang Amran?”

“Ya?”

“Apa nanti abang akan merindukanku?”

Amran tak menjawab. Hening. Bahkan sampai aku terlelap, aku tak mendengar sepatah kata pun dari bibirnya.

   *B E R S A M B U N G*
SRUPUT KOPINYA☕

Menentang_TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang