*C E R B U N G* *MENENTANG_TAKDIR* *PART_16*

15.2K 123 3
                                    

‘Semua akan baik-baik saja, serahkan pada Allah!’

Terngiang ucapan Hakim sesaat sebelum ia dan Madya meninggalkan ruangan tempatku dirawat. Ya, hanya Allah tempat berserah. Tugas kita sebagai manusia hanya berdoa dan berusaha.

Hakim, dia selalu berusaha mendukungku dan Amran dari segi apa pun. Entahlah apakah ini sebagai penebus rasa bersalahnya atau memang karena dia ingin aku bahagia.

“Asslaamu’alaykum!”

Aku dan ibu serempak menoleh kearah suara yang berasal dari pintu masuk. Wajah kuyu namun tegar itu tersenyum.

“Wa’alaykumussalaam,”

Lalu ia mencium punggung tangan ibunya, wanita itu balas mengusap kepala putra kesayangannya.

“Baarakallaah, Nak,” ucapnya lirih.

Kemudian ia menoleh padaku yang tengah berusaha untuk bangkit.

“Jihan,” ia mendekatiku.

“Abang,”

Lelaki itu memelukku, erat. Air mataku berderai. “Maafkan aku,” ucapku dalam peluknya. “Maafkan aku yang tidak mempercayai kata-katamu,”

“Sudahlah, abang paham kok.” Hiburnya sembari mengusap kepalaku. “Jangan nangis lagi, nanti calon bayi kita ikutan sedih. Tunjukkan kalau uminya kuat menghadapi cobaan sebesar apa pun, agar nantinya dia juga kuat,” Amran melepas pelukannya dan mengusap air mataku dengan tangannya.

Ibu tersenyum melihat kami.

“Bagaimana hasil persidangan hari ini, Amran?”

“Dilanjutkan minggu depan, Bu. Sebab tidak ada saksi mata yang menguatkan.”

“Berarti ada kemungkinan kita untuk menang?” Mata ibu membesar.

Amran menghela napas. “Kita serahkan saja pada Allah Bu, apapun itu.” Pungkasnya.

Wanita itu mengangguk dengan senyum yang terukir. “Oh ya, kata dokter, besok Jihan sudah bisa pulang,”

“Alhamdulillaah,” ucap Arman. Kasihan lelaki itu, ia tampak lelah sekali.

“Oh ya, Ayah mana Amran? Beliau nggak sama kamu?”

“Nggak, Bu. Tadi yang lain langsung pulang semua, cuma aku yang ke sini. Nanti ibu kalau mau pulang biar aku antar,”

“Nggak usaaah, biar ibu telepon ayah suruh jemput. Kamu temani saja istrimu. Besok mungkin ibu nggak bisa jemput kalian ke sini, soalnya ibu harus menemani ayah keluar kota. Nggak apa-apa kan?”

“Nggak apa-apa, Bu. Terima kasih sudah menjaga istriku,” Amran melirikku.

“Sama-sama. Ya sudah, ibu duluan ya?” Beliau memelukku. “Jaga kesehatan ya, Nak. Ingat pesan ibu tadi,”

“Iya Bu, insyaaAllah.” Sahutku.

“Amran, jangan bikin istrimu sedih ya?” Ibu mendelik pada lelaki itu.

Amran tertawa kecil. “Iya, Bu,”

Ibu pun pergi setelah mengucap salam. Lalu terdengar suaranya menelepon ayah mertuaku untuk menjemputnya.

Suasana mendadak hening. Amran menatapku tanpa henti.

“Kenapa menatapku seperti itu?”

“Kangen,”

“Udaah, nggak usah ngegombal. Ini rumah sakit lho!”

“Truss kenapa?” Ia ikut duduk di atas tempat tidur.

Menentang_TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang