*C E R B U N G* *MENENTANG_TAKDIR* *PART_14*

10.8K 93 9
                                    

“Besok abang udah boleh pulang belum, Dik?” Tanya Fadil saat ia menemaniku duduk di teras depan.

“Kalau abang tanya boleh atau enggaknya pasti aku jawab nggak boleh.” Sahutku tanpa menoleh padanya.

“Jadi artinya boleh atau enggak nih?”

“Ya bolehlah Bang. Nggak mungkin juga abang lama-lama menemani aku di sini, sementara di sana ada yang rindu setengah mati,” aku tersenyum menatapnya.

“Tapi abang berat meninggalkanmu sendiri,”

“Bang Fadil nggak usah lebay. Aku ini sudah bersuami lho!”

“Tapi kamu tetap adik kecil abang,”

“Bang Fadil, udah dong! Jangan bikin aku mewek deh!”

Fadil tertawa kecil. “Kamu ikut abang saja yuk ke Jakarta!”

Kutatap wajah kharismatik miliknya dengan dahi berkerut. “Kok gitu?”

Lelaki itu menghela napas, membuang pandangannya ke halaman yang ditumbuhi beraneka tanaman hias kesayangan abi.

“Entahlah Dik, abang begitu khawatir saja meninggalkanmu,”

“Khawatir kenapa? Bukankah ada Amran yang menjagaku?”

Ia menunduk sejenak, lalu menatapku. “Abang takut, jika Hakim masih memiliki rasa untukmu, dan takut jika rumah tanggamu akan berantakan. Maka lebih baik kamu menjauh darinya, ajak Amran pergi dari kota ini agar Hakim tak lagi bisa bertemu denganmu,”

“Bang, insyaaAllah itu nggak akan terjadi,”

“Tapi kejadian kemarin membuat abang semakin yakin kalau ... “

“Bang!” Potongku. “Kemarin itu salah paham, bang Amran yang terlalu emosi sehingga tidak bersedia mendengar penjelasan dari Hakim. Mungkin jika dia berada di posisi yang sama dengan Hakim saat melihat Madya hampir celaka, pasti dia akan melakukan seperti yang Hakim lakukan padaku Bang!” Bantahku mencoba memberi pengertian.

“Beda jika posisi itu ada pada Amran, dia tak pernah ada rasa dengan Madya, sedangkan kamu dan Hakim? Kalian pernah memiliki rasa yang sama dan harapan yang sama,”

“Kenapa abang jadi mirip Amran sih?” Tanyaku mulai kesal.

Fadil terdiam.

“Aku sudah berusaha menerima semuanya Bang, aku sudah berusaha melupakan rasa itu meskipun butuh waktu lama. Jadi tolong jangan melemahkan semangatku!”

“Maafkan abang, Jihan. Abang hanya terlalu khawatir denganmu.”

“Aku tahu Bang, tapi jangan sampai kekhawatiran itu membuat abang terlalu protektif padaku. Beri aku kesempatan agar aku bisa mandiri,”

“Itu yang abang belum bisa.”

“Kenapa?”

Fadil bergeming, membuang wajahnya dari tatapan mataku.

“Entahlah,” jawabnya singkat.

“Abang aneh!”

Terdengar ia menghela napas, kemudian mengembuskannya perlahan. Tangannya meraih ponsel di meja, lalu jarinya sibuk menari di atas layar kotak itu.

“Abang mau pesan tiket untuk besok,” ujarnya tanpa kutanya.

“Oke,”

“Abang dapat tiket siang, jadi pagi abang harus sudah berangkat dari sini,” ujarnya setelah beberapa saat.

“Iya, Bang,”

“Kamu yakin sudah bisa abang tinggal?” Seraut khawatir terpampang di wajahnya.

Menentang_TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang