Part 7 ~ Surprise Pendulang Stress

814 99 0
                                    

Hidup ini penuh rahasia. Jika tidak, bagaimana kau akan terkejut atas surprise Tuhan setiap harinya?

Aku tergopoh-gopoh keluar dari kamar mandi. Kalau bukan karena ponselku berbunyi, memang apa lagi?

Dering khusus yang kuatur membuat aku rela meninggalkan seluruh apa yang aku kerjakan meski itu darurat sekalipun. Karena apapun yang berkaitan dengan ibu negara lebih penting dari segala kerumitan dunia ini.

Dengan air yang masih menetes dari helaian rambut, aku menjawab panggilan yang sudah berdering kira-kira selama tiga puluh detik lamanya.

Apakah terlalu lama? Aku khawatir.

"Assalamu'alaikum, buk!"

"Wa'alaikumussalam! Kamu kok lama banget ngangkatnya? Bangun siang ya?!"

Nah kan?

"Astaghfirullah, ibuk ... Sekar lagi mandi. Ndak mungkin Sekar bawa hp ke kamar mandi. Ibuk kan nate dhwauh-"

"Iya, iya ibuk ngerti. Lagi ngapain kamu?"

Aku tersenyum. Sangat maklum karena ibuku sejenis manusia pelupa walau hanya jeda waktu 1 detik.

"Sekar udah bilang, Sekar tadi lagi mandi. Terus ibuk telepon-"

"Oh iya, ya! Duuuhh ... kok pelupa sih ibuk!"

Biarkan aku membanyangkan bagimana cara ibu menepuk jidat dan bergeleng-geleng di sana. Lucu, aku tersenyum geli karenanya.

"Kamu ini! Ini itu juga gara-gara kamu, tau ndak?! Pusiiing ... ibuk tuh mikirin kamu yang nggak cepat-cepat nikah! Mana ibuk sudah tua, pikunan lagi. Kamu ndak mau kan pas kamu nikah nanti ibuk sudah keburu ndak bisa ingat gimana muka kamu dan suami kamu?!"

Aku menjauhkan ponsel dan mendesis sekuat-kuatnya. Kapan masalah ini akan selesai?! Malas sekali jika setiap telepon yang kuterima dari ibu selalu membahas masalah yang sebenarnya hanya pihak mas Davin lah yang tau jalan keluarnya.

"Aduh, buk ... ndak bosan apa tiap nelepon selalu tanya masalah itu terus? Aku ini juga lagi usaha, buk. Gimana caranya mas Davin mau temuin ibuk. Aku tuh udah pusiing ... ndak kuat mikir aku,"

Kumuntahkan semua unek-unek pada ibu. Kecuali pertengkaranku dengan mas Davin yang masih berlangsung hingga saat ini. Ih, apa dia benar-benar tidak ada inisiatif untuk mengajak bicara duluan?!

"Kalau cuma kamu pikir ya ndak ketemu jalan keluarnya! Piye to!"

"Ya udah, ibuk aja yang ngomong sama mas Davin. Aku kasih nomornya ke ibuk sekarang," putusku kesal. Heran deh ya, yang punya hubungan siapa, yang ngebet pengen nikah siapa. Masih pagi loh ini.

"Eh, kok ngono? Kan kamu pacarnya, seharusnya ...."

Dan selanjutnya yang aku dengar hanya blah ... blah ... blah....

Setelah aku pikir-pikir, obrolan ini tidak akan ada habisnya. Dan seperti obrolan yang sudah-sudah, kuakhiri sesi bincang unfaedah ini dengan alasan yang lagi-lagi sama, "eh, ibuk. Mbak Karin sama mbak Lisa sudah pada datang. Nggak enak suruh nunggu. Nanti Sekar telepon lagi. Assalamu'alaikum,"

Aku mendesah lega. Semoga ibu tidak mencak-mencak karena aku memutus telepon secara sepihak. Sepertinya aku melakukan dosa terlampau banyak akhir-akhir ini. Mengumpat, berbohong pada ibu, dan pada mbak Karin yang sudah lebih dari seminggu ini masih marah denganku. Saking merasa berdosanya, aku bahkan tidak berani membuka chat dari Lintang. Entah sudah berapa kali pesan serta telponnya kuabaikan. Kasihan kan?

Awry [Lengkap]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang